jangan jauh-jauh.
akan kuceritakan kepadamu
tentang dunia yang menua
dan senja yang mulai kehilangan merahnya.
courtesy: gettyimages.com
memahami orang lain itu nggak gampang, namun jujur dengan diri sendiri ternyata jauh lebih sulit.
INILAH siklus kehidupan.
Yang tua akan digantikan yang muda. Begitulah, satu-satu, daun yang berrguguran akan digantikan pucuk-pucuk daun muda. Termasuk dalam urusan tampil menarik.
Entahlah. Semakin uzur seseorang, ia semakin tak punya hak untuk tampil menarik. Saya tegaskan. Ini bukan teori mutakir abad 21, Kawan. Bukan. Ini teori yang bergerak mengikuti siklus hidup manusia atas nama kepantasan dan kelaziman. Dan sayangnya, kepantasan dan kelaziman untuk tampil cantik dan atau menarik hanya milik kaum muda. Semakin lama kita hidup maka semakin berkurang hak kita untuk tampil menarik.
Kadang, bukan kita yang sengaja meletakkan hak untuk tampil menarik seiring dengan usia. Namun, pilihan yang diberikan untuk mereka yang semakin tua tak lagi banyak. Bukan kita yang tanpa sadar menguranginya, namun pilihannya memang tak lagi variatif.
Apa memang harus begitu. Atau, kita saja yang selalu mengidentikan cantik dan menarik hanya untuk mereka yang masih muda. Mereka yang sudah tua? No way, silakan minggir! Toh, Anda sudah menikmati hidup lebih lama!
***
‘ANAK saya bilang, “Mami sudah uzur. Kenapa juga masih ke salon?”.’
Perempuan itu memegang rambut bagian sampingnya yang sudah di-blow ulang. Mematut bayangan dirinya. Rambutnya di-blow tinggi, menutupi kulit kepalanya yang terlihat karena rambut yang semakin jarang. Untuk usianya yang sudah 70 tahun, harusnya rambut miliknya berwarna putih. Namun, berkat penemuan pewarna rambut dan hasil perawatan salon langganannya ini, ia tetap memiliki warna hitam rambutnya.
Pegawai salon tertawa. ‘Lalu, Tante bilang apa?’
‘Saya bilang, kita perempuan ini serba salah. Kalau kita tidak merawat diri, kita jadi kurang menarik. Kalo kita tidak menarik, orang bilang kita tidak pandai mengurus diri. Tapi, kalau kita sudah tua, dan tetap ingin merawat diri, orang bertanya, buat apa dan terkesan ada-ada saja.’
Ia menatap lurus ke arah cermin. Di kaca cermin itu, ia seperti bicara kepada dirinya sendiri. Menyadari bahwa hidup terus berjalan, dan usianya terus bertambah. Garis-garis di wajahnya semakin banyak. Bedak setebal apa pun tak akan bisa menutupi keriput itu. Lipstik semerah apa pun tak akan bisa mengembalikan warna asli pada bibir yang semakin pias. Bahkan, perawatan rambut yang kerap dilakukannya seminggu sekali tak akan mampu menambah ketebalan dan mengembalikan warna asli rambutnya secara alami. Waktu memang tak akan pernah bisa berbohong. Dan ia sadar, ia juga tak akan bisa mengelabui sang waktu.
***
SAYA tercenung mendengar pembicaraan yang terjadi di belakang punggung saya. Lewat cermin di depan, saya bisa melihat apa yang terjadi di belakang punggung. Nyonya si pemiliki salon yang tengah memotong rambut saya sepertinya sadar kalau saya menyimak penuh percakapan yang terjadi.
‘Tante itu, walau sudah tua tetap rajin ke salon,’ terangnya. Saya pun manggut-manggut. Rutinitas ke salon perempuan itu sudah saya curi dengar ketika baru akan melangkah duduk di kursi saya.
‘Tante akan merayakan ulang tahun perkawinannya di mana?’ Pegawai salon kembali bertanya kepada perempuan itu.
‘Anak saya akan menjemput saya. Saya tidak tahu ke mana mereka akan membawa saya dan suami. Mereka hanya meminta saya untuk siap-siap. Saya hanya ingin tampil cantik di hari ulang tahun perkawinan saya.’
Tante Pemilik Salon memandang saya dari kaca. ‘Dia suka lupa apa yang dia bicarakan. Tadi dia menceritakan hal yang sama ketika saya memotong rambutnya,’ kata Tante Pemilik Salon dengan nada suara yang rendah. Mungkin, ia khawatir ucapannya didengar si perempuan itu. ‘Dia suka bercerita apa saja kepada semua pegawai di sini. Tapi, dia sering lupa kepada siapa dia bercerita dan apa yang diceritakan.’
Saya tersenyum. Itu bukan hal yang konyol untuk saya. Kadang, seseorang butuh menceritakan suatu kisah berkali-kali kepada orang yang sama untuk meyakinkan, tak ada yang terlewatkan. Bisa jadi karena ia senang mengingat hal yang terjadi ketika menceritakannya. O, ya, tentu saja itu terkadang terdengar membosankan dan melelahkan untuk orang yang diberi cerita.
‘Tidak ada yang salah kan kalau perempuan tua seperti saya rajin ke salon?’ Pertanyaan tiba-tiba itu membuat pegawai salon, Tante Pemilik Salon, dan saya yang mencuri dengar terdiam.
‘Entahlah, saya merasa, orang selalu merasa kalau perempuan tua ke salon itu aneh. Padahal, saya hanya ingin menyenangkan diri saya, juga suami saya,’ lanjutnya tanpa menunggu jawaban dari siapa pun.
Diam-diam saya mengamini ucapannya. Dia benar. Entah, mungkin tak banyak yang sadar, kadang, ketika kita bertemu perempuan tua yang berdandan, kita melabelkannya nenek genit. Menganggap tak pantas lagi orang yang sudah berumur berdandan neko-neko.
Saya teringat kejadian sebelum saya masuk ke salon. Mobil saya harus menunggu untuk parkir karena ada mobil lain yang melintang di area parkir. Saya penasaran. Lama sekali pemilik mobil ini keluar. Perlahan, pintu mobil terbuka. Saya menduga yang bakal keluar adalah ibu-ibu pejabat atau seorang perempuan muda yang lelet dan manja habis. Oh, oke, beginilah sinisnya saya menanggapi ibu-ibu bersasak tinggi dan perempuan-perempuan muda yang tak bisa bergerak cepat karena kemayu. Dan salon, sayangnya, sering dipenuhi perempuan seperti ini.
Satu menit berlalu. Saya mulai tak sabar. Penumpang mobil belum juga keluar. Dari pintu satunya keluarlah perempuan muda dengan pakaian suster. Saya semakin malas, oh, oke, pasti ini ibu-ibu muda yang tidak pengen anaknya merecoki jadwal salonnya sehingga perlu bawa suster. Lalu, suster itu bergerak ke bagasi mobil mengeluarkan tongkat kaki empat. Suster muda itu meletakkan tongkat di depan pintu yang telah terbuka. Ia menjulurkan badannya ke dalam, menarik seseorang keluar dari mobil.
Dan saat itulah saya melihat, rupa perempuan yang sedari tadi saya tebak-tebak. Seorang perempuan tua dengan kepala nyaris botak dan badan ringkih yang kurus. Untuk berjalan dengan tongkat berkaki empat pun, ia masih harus dipapah oleh satu orang lagi.
‘Mau ngapain nih nenek ke salon?’ Saya sempat berpikir demikian. Refleksi, mungkin, jawab otak saya segera. Setelah memarkir mobil, saya berjalan mendahului si nenek masuk ke salon.
Hari ini, tebakan saya melulu meleset. Nenek bertongkat kaki empat itu tidak refleksi. Ia duduk tak jauh dari saya. Tadi, ketika rambut saya dicuci, rambutnya pun dicuci. Ketika rambut saya dipotong, ia justru sedang memejamkan mata menikmati pijitan lembut di kepalanya yang sedang di-cream bath.
***
PERTANYAAN perempuan tua yang hendak merayakan ulang tahun perkawinannya menampar saya.
Jujur. Kadang saya masih suka mencebil sinis ketika melihat perempuan berumur tampil dengan dandanan lengkap. Sering tak habis mengerti mengapa mereka melakukan hal itu. Saya lupa. Harusnya, saya bertindak adil sejak dalam pikiran.
Iya. Apa yang salah dengan perempuan berumur yang pergi ke salon? Berdandan habis-habisan dengan make up lengkap dan baju berpotongan modern? Bukankah memang sifat dasar manusia selalu ingin tampil menarik? Dan, tak ada hukum yang melarang hal itu bukan?
Tampil menarik hak semua orang. Tak peduli tua-muda. Yang menganggap itu lucu, konyol, dan tidak pantas, justru kita yang masih muda. Menganggap semua keistimewaan itu hanya milik kaum muda saja. Dan ini pun didukung oleh industri kapitalis dunia fashion dan kecantikan. Industri kecantikan dan fashion hanya dibuat untuk mereka yang masih muda. Lihatlah iklan dan model yang dipakai. Bahkan, entah kenapa, saya merasa manekin yang ada di toko-toko pakaian pun adalah representasi dari kemudaan.
Kalau pun ada kosmetik bagi perempuan yang usianya semakin matang, pasti berkaitan dengan upaya pencegahan penuaan dini. Bagaimana menyamarkan kerut di mata dan leher. Bagaimana mengencangkan kulit paha dan perut agar selulit tak ada. Atau bagaimana agar bokong dan payudara tak kendur.
Tak banyak juga produk fashion dirancang untuk mereka yang sudah tua. Kalau kita berjalan-jalan ke mal, seluruh gerai toko memajang desain pakaian untuk mereka yang muda. Untuk yang tua, kita harus jeli menyibak satu per satu jejeran pakaian yang ada. Ujung-ujungnya, mereka memamerkan desain konservatif yang mengarah ke religiusitas : baju kurung dengan kerudung.
Saya bergidik. Menjadi tua itu menakutkan. Pilihan mendadak terasa homogen. Tak heran kalau ada yang bilang, dunia anak muda adalah dunia penuh warna. Pilihan hidup mereka variatif. Sementara, dunia orang tua, dunia yang kelabu. Yang tertinggal hanya hitam-putih. Seperti piramida, semakin tua seseorang, lingkungannya semakin menyempit, dan pilihannya pun semakin sedikit. Yang gawat, kita kadang menganggap ini waktu yang tepat buat tobat!
***
‘SAYA hanya ingin merawat diri saya. Walaupun dibilang sudah uzur oleh anakn saya, saya tetap ingin terlihat menarik,’ kata perempuan tua tadi.
Kali ini, ia berdiri dari kursinya. Sempurna. Rambutnya telah dicuci, dipotong, dan di-blow. Wajahnya sudah dirias. Ia mengenakan blus broken white polos dengan celana denim berwarna krem. Tangannya menenteng tas jinjing berwarna putih bersih dengan aksen emas. Samar, saya mencium bau parfum-nya ketika ia bergerak, melintasi punggung saya, lalu menghampiri Nenek Bertongkat Kaki Empat.
‘Tadi ke gereja pagi?’ tanyanya. Ah, rupanya mereka saling kenal. Nenek Bertongkat Kaki Empat mengangguk. Mereka kemudian bercakap dalam bahasa Belanda.
‘Iya, perempuan tua seperti kita ini serba salah. Mau menata rambut saja bingung. Rambutnya sudah habis. Kalau pergi ke salon, orang selalu bertanya, mau apa, buat apa.’ Perempuan tua itu kembali mengulangi pembicaraannya.
Nenek Bertongkat Empat membenarkan. ‘Padahal kita hanya ingin merawat diri. Menikmatinya.’
‘Kalau kita berantakan, tidak terawat, yang malu juga kan suami kita, anak kita,’ Perempuan tua melanjutkan. ‘Ya sudah, ik mau pulang. Keburu anak-anak saya datang menjemput.’ Ia menepuk pundak Nenek Bertongkat Kaki Empat dan melambaikan tangan kepada Tante Pemilik Salon.
‘Iya, Tante. Hati-hati. Selamat ulang tahun perkawinan!’ seru Tante Pemilik Salon. Perempuan tua itu tersenyum sumringah lalu melangkah pelan ke pintu keluar dengan muka berseri.
Entahlah, kali ini saya merasa,
ia perempuan paling cantik yang pernah saya lihat keluar dari salon hari ini.
Saya tahu, ini bukan karena perawatan yang baru saja ia lakukan. Namun karena rasa bahagia terpancar dari wajahnya. Ada harapan di situ. Ada yang ia tahu pasti menunggunya: anak-anak dan suami.
Kali ini, waktu tak lebih tamu yang mereka undang untuk merayakan dan menikmati kebersamaan yang tumbuh tua bersama mereka.
***
GROWING older is for sure.
Sesuatu yang pasti. But then, I think, I would like to put: ‘… and a very sexy thing’ to continue those words.
Mungkin, ketika beranjak tua, saya tetap akan menjalankan rutinitas saya : sebulan sekali cream bath, tiga bulan sekali potong rambut, well boleh lah ditambah dengan luluran. Lalu, ketika saya berdiri telanjang di depan cermin, saya akan menghitung kerut yang muncul di sekitar mata saya, gelambir di leher saya, dan selulit di paha saya.
Hm, mungkin juga,
saya masih akan mengenakan celana jeans Levi’s koleksi saya yang sudah buluk dan robek-robek. Termasuk koleksi kaus hitam-putih saya. Semoga saja, sampai saya tua, ukurannya masih cukup.
Kalau ada yang bertanya mengapa saya melakukan hal tersebut—mungkin anak saya, mungkin tetangga saya, mungkin partner hidup saya—saya sudah menyiapkan jawabannya dari sekarang.
Untuk diri saya sendiri.
Saya hanya ingin tumbuh tua bersama waktu, tanpa menyesali apa pun. Tanpa perlu melawannya.
Jakarta, 26 Oktober 2008