Sunday, October 26, 2008

Cantik

INILAH siklus kehidupan.

Yang tua akan digantikan yang muda. Begitulah, satu-satu, daun yang berrguguran akan digantikan pucuk-pucuk daun muda. Termasuk dalam urusan tampil menarik.

Entahlah. Semakin uzur seseorang, ia semakin tak punya hak untuk tampil menarik. Saya tegaskan. Ini bukan teori mutakir abad 21, Kawan. Bukan. Ini teori yang bergerak mengikuti siklus hidup manusia atas nama kepantasan dan kelaziman. Dan sayangnya, kepantasan dan kelaziman untuk tampil cantik dan atau menarik hanya milik kaum muda. Semakin lama kita hidup maka semakin berkurang hak kita untuk tampil menarik.

Kadang, bukan kita yang sengaja meletakkan hak untuk tampil menarik seiring dengan usia. Namun, pilihan yang diberikan untuk mereka yang semakin tua tak lagi banyak. Bukan kita yang tanpa sadar menguranginya, namun pilihannya memang tak lagi variatif.

Apa memang harus begitu. Atau, kita saja yang selalu mengidentikan cantik dan menarik hanya untuk mereka yang masih muda. Mereka yang sudah tua? No way, silakan minggir! Toh, Anda sudah menikmati hidup lebih lama!

***

‘ANAK saya bilang, “Mami sudah uzur. Kenapa juga masih ke salon?”.’

Perempuan itu memegang rambut bagian sampingnya yang sudah di-blow ulang. Mematut bayangan dirinya. Rambutnya di-blow tinggi, menutupi kulit kepalanya yang terlihat karena rambut yang semakin jarang. Untuk usianya yang sudah 70 tahun, harusnya rambut miliknya berwarna putih. Namun, berkat penemuan pewarna rambut dan hasil perawatan salon langganannya ini, ia tetap memiliki warna hitam rambutnya.

Pegawai salon tertawa. ‘Lalu, Tante bilang apa?’

‘Saya bilang, kita perempuan ini serba salah. Kalau kita tidak merawat diri, kita jadi kurang menarik. Kalo kita tidak menarik, orang bilang kita tidak pandai mengurus diri. Tapi, kalau kita sudah tua, dan tetap ingin merawat diri, orang bertanya, buat apa dan terkesan ada-ada saja.’

Ia menatap lurus ke arah cermin. Di kaca cermin itu, ia seperti bicara kepada dirinya sendiri. Menyadari bahwa hidup terus berjalan, dan usianya terus bertambah. Garis-garis di wajahnya semakin banyak. Bedak setebal apa pun tak akan bisa menutupi keriput itu. Lipstik semerah apa pun tak akan bisa mengembalikan warna asli pada bibir yang semakin pias. Bahkan, perawatan rambut yang kerap dilakukannya seminggu sekali tak akan mampu menambah ketebalan dan mengembalikan warna asli rambutnya secara alami. Waktu memang tak akan pernah bisa berbohong. Dan ia sadar, ia juga tak akan bisa mengelabui sang waktu.

***

SAYA tercenung mendengar pembicaraan yang terjadi di belakang punggung saya. Lewat cermin di depan, saya bisa melihat apa yang terjadi di belakang punggung. Nyonya si pemiliki salon yang tengah memotong rambut saya sepertinya sadar kalau saya menyimak penuh percakapan yang terjadi.

‘Tante itu, walau sudah tua tetap rajin ke salon,’ terangnya. Saya pun manggut-manggut. Rutinitas ke salon perempuan itu sudah saya curi dengar ketika baru akan melangkah duduk di kursi saya.

‘Tante akan merayakan ulang tahun perkawinannya di mana?’ Pegawai salon kembali bertanya kepada perempuan itu.

‘Anak saya akan menjemput saya. Saya tidak tahu ke mana mereka akan membawa saya dan suami. Mereka hanya meminta saya untuk siap-siap. Saya hanya ingin tampil cantik di hari ulang tahun perkawinan saya.’

Tante Pemilik Salon memandang saya dari kaca. ‘Dia suka lupa apa yang dia bicarakan. Tadi dia menceritakan hal yang sama ketika saya memotong rambutnya,’ kata Tante Pemilik Salon dengan nada suara yang rendah. Mungkin, ia khawatir ucapannya didengar si perempuan itu. ‘Dia suka bercerita apa saja kepada semua pegawai di sini. Tapi, dia sering lupa kepada siapa dia bercerita dan apa yang diceritakan.’

Saya tersenyum. Itu bukan hal yang konyol untuk saya. Kadang, seseorang butuh menceritakan suatu kisah berkali-kali kepada orang yang sama untuk meyakinkan, tak ada yang terlewatkan. Bisa jadi karena ia senang mengingat hal yang terjadi ketika menceritakannya. O, ya, tentu saja itu terkadang terdengar membosankan dan melelahkan untuk orang yang diberi cerita.

‘Tidak ada yang salah kan kalau perempuan tua seperti saya rajin ke salon?’ Pertanyaan tiba-tiba itu membuat pegawai salon, Tante Pemilik Salon, dan saya yang mencuri dengar terdiam.

‘Entahlah, saya merasa, orang selalu merasa kalau perempuan tua ke salon itu aneh. Padahal, saya hanya ingin menyenangkan diri saya, juga suami saya,’ lanjutnya tanpa menunggu jawaban dari siapa pun.

Diam-diam saya mengamini ucapannya. Dia benar. Entah, mungkin tak banyak yang sadar, kadang, ketika kita bertemu perempuan tua yang berdandan, kita melabelkannya nenek genit. Menganggap tak pantas lagi orang yang sudah berumur berdandan neko-neko.

Saya teringat kejadian sebelum saya masuk ke salon. Mobil saya harus menunggu untuk parkir karena ada mobil lain yang melintang di area parkir. Saya penasaran. Lama sekali pemilik mobil ini keluar. Perlahan, pintu mobil terbuka. Saya menduga yang bakal keluar adalah ibu-ibu pejabat atau seorang perempuan muda yang lelet dan manja habis. Oh, oke, beginilah sinisnya saya menanggapi ibu-ibu bersasak tinggi dan perempuan-perempuan muda yang tak bisa bergerak cepat karena kemayu. Dan salon, sayangnya, sering dipenuhi perempuan seperti ini.

Satu menit berlalu. Saya mulai tak sabar. Penumpang mobil belum juga keluar. Dari pintu satunya keluarlah perempuan muda dengan pakaian suster. Saya semakin malas, oh, oke, pasti ini ibu-ibu muda yang tidak pengen anaknya merecoki jadwal salonnya sehingga perlu bawa suster. Lalu, suster itu bergerak ke bagasi mobil mengeluarkan tongkat kaki empat. Suster muda itu meletakkan tongkat di depan pintu yang telah terbuka. Ia menjulurkan badannya ke dalam, menarik seseorang keluar dari mobil.

Dan saat itulah saya melihat, rupa perempuan yang sedari tadi saya tebak-tebak. Seorang perempuan tua dengan kepala nyaris botak dan badan ringkih yang kurus. Untuk berjalan dengan tongkat berkaki empat pun, ia masih harus dipapah oleh satu orang lagi.

‘Mau ngapain nih nenek ke salon?’ Saya sempat berpikir demikian. Refleksi, mungkin, jawab otak saya segera. Setelah memarkir mobil, saya berjalan mendahului si nenek masuk ke salon.

Hari ini, tebakan saya melulu meleset. Nenek bertongkat kaki empat itu tidak refleksi. Ia duduk tak jauh dari saya. Tadi, ketika rambut saya dicuci, rambutnya pun dicuci. Ketika rambut saya dipotong, ia justru sedang memejamkan mata menikmati pijitan lembut di kepalanya yang sedang di-cream bath.

***

PERTANYAAN perempuan tua yang hendak merayakan ulang tahun perkawinannya menampar saya.

Jujur. Kadang saya masih suka mencebil sinis ketika melihat perempuan berumur tampil dengan dandanan lengkap. Sering tak habis mengerti mengapa mereka melakukan hal itu. Saya lupa. Harusnya, saya bertindak adil sejak dalam pikiran.

Iya. Apa yang salah dengan perempuan berumur yang pergi ke salon? Berdandan habis-habisan dengan make up lengkap dan baju berpotongan modern? Bukankah memang sifat dasar manusia selalu ingin tampil menarik? Dan, tak ada hukum yang melarang hal itu bukan?

Tampil menarik hak semua orang. Tak peduli tua-muda. Yang menganggap itu lucu, konyol, dan tidak pantas, justru kita yang masih muda. Menganggap semua keistimewaan itu hanya milik kaum muda saja. Dan ini pun didukung oleh industri kapitalis dunia fashion dan kecantikan. Industri kecantikan dan fashion hanya dibuat untuk mereka yang masih muda. Lihatlah iklan dan model yang dipakai. Bahkan, entah kenapa, saya merasa manekin yang ada di toko-toko pakaian pun adalah representasi dari kemudaan.

Kalau pun ada kosmetik bagi perempuan yang usianya semakin matang, pasti berkaitan dengan upaya pencegahan penuaan dini. Bagaimana menyamarkan kerut di mata dan leher. Bagaimana mengencangkan kulit paha dan perut agar selulit tak ada. Atau bagaimana agar bokong dan payudara tak kendur.

Tak banyak juga produk fashion dirancang untuk mereka yang sudah tua. Kalau kita berjalan-jalan ke mal, seluruh gerai toko memajang desain pakaian untuk mereka yang muda. Untuk yang tua, kita harus jeli menyibak satu per satu jejeran pakaian yang ada. Ujung-ujungnya, mereka memamerkan desain konservatif yang mengarah ke religiusitas : baju kurung dengan kerudung.

Saya bergidik. Menjadi tua itu menakutkan. Pilihan mendadak terasa homogen. Tak heran kalau ada yang bilang, dunia anak muda adalah dunia penuh warna. Pilihan hidup mereka variatif. Sementara, dunia orang tua, dunia yang kelabu. Yang tertinggal hanya hitam-putih. Seperti piramida, semakin tua seseorang, lingkungannya semakin menyempit, dan pilihannya pun semakin sedikit. Yang gawat, kita kadang menganggap ini waktu yang tepat buat tobat!

***

‘SAYA hanya ingin merawat diri saya. Walaupun dibilang sudah uzur oleh anakn saya, saya tetap ingin terlihat menarik,’ kata perempuan tua tadi.

Kali ini, ia berdiri dari kursinya. Sempurna. Rambutnya telah dicuci, dipotong, dan di-blow. Wajahnya sudah dirias. Ia mengenakan blus broken white polos dengan celana denim berwarna krem. Tangannya menenteng tas jinjing berwarna putih bersih dengan aksen emas. Samar, saya mencium bau parfum-nya ketika ia bergerak, melintasi punggung saya, lalu menghampiri Nenek Bertongkat Kaki Empat.

‘Tadi ke gereja pagi?’ tanyanya. Ah, rupanya mereka saling kenal. Nenek Bertongkat Kaki Empat mengangguk. Mereka kemudian bercakap dalam bahasa Belanda.

‘Iya, perempuan tua seperti kita ini serba salah. Mau menata rambut saja bingung. Rambutnya sudah habis. Kalau pergi ke salon, orang selalu bertanya, mau apa, buat apa.’ Perempuan tua itu kembali mengulangi pembicaraannya.

Nenek Bertongkat Empat membenarkan. ‘Padahal kita hanya ingin merawat diri. Menikmatinya.’

‘Kalau kita berantakan, tidak terawat, yang malu juga kan suami kita, anak kita,’ Perempuan tua melanjutkan. ‘Ya sudah, ik mau pulang. Keburu anak-anak saya datang menjemput.’ Ia menepuk pundak Nenek Bertongkat Kaki Empat dan melambaikan tangan kepada Tante Pemilik Salon.

‘Iya, Tante. Hati-hati. Selamat ulang tahun perkawinan!’ seru Tante Pemilik Salon. Perempuan tua itu tersenyum sumringah lalu melangkah pelan ke pintu keluar dengan muka berseri.

Entahlah, kali ini saya merasa,

ia perempuan paling cantik yang pernah saya lihat keluar dari salon hari ini.

Saya tahu, ini bukan karena perawatan yang baru saja ia lakukan. Namun karena rasa bahagia terpancar dari wajahnya. Ada harapan di situ. Ada yang ia tahu pasti menunggunya: anak-anak dan suami.

Kali ini, waktu tak lebih tamu yang mereka undang untuk merayakan dan menikmati kebersamaan yang tumbuh tua bersama mereka.

***

GROWING older is for sure.

Sesuatu yang pasti. But then, I think, I would like to put: ‘… and a very sexy thing’ to continue those words.

Mungkin, ketika beranjak tua, saya tetap akan menjalankan rutinitas saya : sebulan sekali cream bath, tiga bulan sekali potong rambut, well boleh lah ditambah dengan luluran. Lalu, ketika saya berdiri telanjang di depan cermin, saya akan menghitung kerut yang muncul di sekitar mata saya, gelambir di leher saya, dan selulit di paha saya.

Hm, mungkin juga,

saya masih akan mengenakan celana jeans Levi’s koleksi saya yang sudah buluk dan robek-robek. Termasuk koleksi kaus hitam-putih saya. Semoga saja, sampai saya tua, ukurannya masih cukup.

Kalau ada yang bertanya mengapa saya melakukan hal tersebut—mungkin anak saya, mungkin tetangga saya, mungkin partner hidup saya—saya sudah menyiapkan jawabannya dari sekarang.

Untuk diri saya sendiri.

Saya hanya ingin tumbuh tua bersama waktu, tanpa menyesali apa pun. Tanpa perlu melawannya.



Jakarta, 26 Oktober 2008

Friday, July 25, 2008

Surat Cinta

AKU pernah sekali menulis surat cinta.

Setidaknya, aku menganggap itu surat cinta. Jangan dibayangkan itu sebuah surat cinta yang penuh dengan pernyataan sayang dan ungkapan kasmaran.
Surat cintaku tidak kutulis di selembar kertas wangi dengan gambar hati yang merah membara. Tidak pula aku masukkan ke dalam sebuah amplop berwarna merah jambu yang distempel kecup bibir.

Surat cintaku biasa saja.

Ditulis dalam sebuah buku harian cokelat yang tak beraroma, kecuali bau kertas itu sendiri. Buku harian itu pun pemberian si Pujaan Hati. Lelaki yang berhasil merebut hatiku dan rasa ingin tahuku, saat itu, tentang apa yang ia pikirkan.

Surat cintaku menyimpan ceritanya. Cerita tentang lelaki yang aku sebut berwarna biru. Langitku. Cakrawalaku. Angkasaku. Dan aku adalah angin yang mencumbui setiap jengkal luasnya dalam pandang yang tak bisa dibatasi. Tidak oleh siapa pun.

Buku harian cokelat itu adalah lembaran surat cinta kami. Hari pertama aku mendapatkannya sebagai hadiah, tak lebih sebuah oleh-oleh dari perjalanan liburannya ke negara bagian lain. ‘Aku tak tahu harus memberi apa,’ katanya. Aku tertawa saat itu. Tak berharap mendapatkan apa pun.
Tapi, begitulah dia. Seperti langit yang bisa kaulihat, tapi tak kauketahui batasnya, ia selalu penuh kejutan. Dia mengulurkan sesuatu berbentuk segi panjang. Tak dibungkus kertas kado yang cantik. Hanya kertas putih tipis yang pastinya langsung dari toko ketika ia membeli.

‘Hey, you don’t have to….’

‘Say that till you open it,’ sahutnya.

Aku membuka kertas putih tipis dan menemukan buku harian itu. Aku tak ingat. Sepertinya bibirku melongo membentuk huruf o. Entah kenapa, itu seperti buku harian yang selama ini ada di bayanganku. Cokelat, kuno, dan seolah sanggup menjaga semua rahasia yang kausimpan bersama waktu meski ia tak berkunci.

Dia tersenyum. Senyum yang manis. ‘Hope you like it.’

‘I do like it.’

‘I have no flower. I mean, I don’t want to buy a flower.’

‘I do not like flower.’

‘I know, but some men do that.’

‘You do not.’

‘I want. But I know, you do not like it. I choose this…as a substitute for a flower….’
Dia mengulurkan sebuah boneka kecil. Anjing berkepala tiga yang ada dalam buku Harry Potter. Hewan yang jauh dari imut, bahkan di buku dan film terlihat sangat mengerikan. Teman perempuanku tertawa ketika tahu boneka apa yang ia berikan kepadaku. ‘Masa kasih cewek boneka beginian!’ komentar temanku.

Begitulah dia. Romantis dengan caranya. Kau tak akan percaya. Aku pernah menuliskan surat cinta untuknya, dan berjanji memenuhi halaman dari setiap lembar buku cokelat itu dengan surat cinta yang serupa cerita.

Aku pernah menghabiskan malam memikirkannya. Mengingat setiap detik yang kami lalui di antara hingar-bingar pertemanan. Apa yang ia ceritakan. Ekspresinya. Tawanya. Wajah bengalnya yang sok inosens ketika berhasil mencuri cium di tengah jalanan kota. Dan hal konyol yang ia lakukan. Kadang, dengan sudut mataku, aku mengamati cara dia melihatku di antara keramaian. Sejujurnya, aku jatuh cinta pada caranya menungguku di ujung bangku kayu di tepi sungai itu, pada kencan tak resmi kami yang pertama di penghujung musim semi. Aku jatuh hati pada caranya bertanya, bagaimana bahasa bisa tercipta. Aku jatuh pada rasa jengah ketika ia tersenyum kecil tanpa banyak bersuara. Dan itu yang aku tuliskan dalam surat cintaku yang pertama untuknya.

Surat cintaku adalah Satu Kisah tentang Dia. Langitku. Biruku. Angkasaku. Cakrawalaku.

Seseorang yang pernah membuat waktuku bergulir begitu lambat dan manis. Seorang yang padanya aku pernah berharap, ada warnaku di bianglala miliknya.

Kalau kau berpikir harus ada kata cinta dalam surat cinta, maka bacalah surat cintaku untuknya. Tak ada satu pun kata cinta di situ. Hanya ada rekaman hal yang kuingat tentang dia sepanjang hari. Hanya ada cerita tentang mimpinya dan mimpiku. Berbagi cerita. Berbagi rasa. berbagi rahasia. Berbagi tawa. Berbagi duka.

Begitulah surat cintaku. Aku hanya serupa pengamat yang menyukai objek yang dilihatnya dan mencoba mendeskripsikan. Bagiku, itu melampau rasa cinta itu sendiri. Tak ada yang mampu menjelaskan cinta, selain cinta itu sendiri. Dan pada akhirnya, semua kembali kepada merasakan. Bukan mengatakan.
*
AKU pun pernah menerima surat cinta darinya.

Setidaknya aku menganggapnya itu surat cinta. Jangan dibayangkan itu sebuah surat cinta yang terangkai penuh kata indah layaknya pujangga. Bukan. Dia tak pandai menulis. Beberapa pilihan katanya bahkan membuatku tertawa geli. Tapi, entah mengapa, aku tahu, ia menulis dengan jujur, dan berusaha keras agar bisa menulis dengan indah.

Surat cintanya tidak ditulis di selembar kertas wangi dengan gambar hati yang merah membara. Tidak pula dipenuhi kata yang romantis. Tapi, entah mengapa, surat cintanya terasa manis dan mampu membuat pipi menjadi semerah dadu.

Surat cintanya memang tidak biasa.

Ditulis dalam sebuah buku harian cokelat yang tak beraroma, kecuali bau kertas itu sendiri. Buku harian itu pun pembeliannya sendiri.

Surat cintanya menyimpan cerita tentangku. Ia mulai menuliskannya di halaman terakhir buku harian cokelat itu. Begitulah kami berkirim surat cinta; lewat sebuah buku harian cokelat. Aku memulainya dari depan, ia memulainya dari belakang. Kami akan bergantian membawa pulang buku cokelat itu hanya untuk menulis surat cinta yang serupa cerita.

Terus seperti itu. Selang dan berseling. Kau tak akan pernah tahu, bagaimana kami bermain tentang peran tukang pos mengantarkan surat cinta. Bagaimana kami berbagi rasa. Seperti apa kami membagi rahasia. Kami seumpama dua mata-mata cilik yang setiap hari saling melempar kode. Bertukar sandi. Lalu, buru-buru pulang ke persembunyian masing-masing untuk menemukan jawaban teka-teki. Tentunya dengan dada berdebar dan hati yang seumpama bunga mekar. Tentunya ini berbeda dengan cerita dektektif beneran. Yang membaca kode sandi dengan hati cemas dan pikiran yang dipenuhi rasa ingin tahu, kapan tibanya hari naas.

Aku dan dia berjanji, akan bertemu di halaman tengah untuk memadukan kata di halaman terakhir buku harian cokelat itu. Kami menganggap itu janji yang manis.

Sungguh.
**
APA yang kauharapkan dari sebuah kisah cinta yang pernah diwarnai surat cinta?

Aku pernah sekali menerima surat cinta dalam amplop biru yang wangi. Lidah amplopnya direkatkan dengan isolasi berwarna cantik : baby blue. Biru pucat, aku menyebutnya.

Surat cinta yang aku terima tidak ditulis di atas selembar surat bergambar hati dengan goresan ‘perhaps love’. Amplop itu hanya berisi dua kartu remi, masing-masing bergambar king dan gueen hati, sobekan separuh dari satu halaman paling belakang buku cokelat. Ia pernah merobeknya. Hari itu, ia memutuskan untuk mengembalikannya kepadaku, sehari sebelum semuanya harus selesai, dan mengantarkannya sendiri kepadaku.

Senyumnya tipis, dan tetap manis. ‘Sometimes, king and queen cannot “sit” together in the real world. But, still you have that place in my heart.’ Hari itu, aku menjadi ratu tanpa takhta dan mahkota di hatinya.


That was the last time; we kissed to each other.

Begitulah cerita cinta yang diwarnai surat cintaku berakhir. Tak pernah bertemu di akhir cerita.
Tak apa. Tidak setiap cerita dimaksudkan untuk bahagia bersama. Kita bisa berbahagia sendiri dan bertukar cerita agar yang lain merasakan bahwa hal biasa bisa menjelma luar biasa pada waktunya.

Aku merasa bahagia karena pernah sekali menulis surat cinta. [13]

Jakarta, 25 Juli 2008

Thursday, July 17, 2008

Merayakan Kematian

Seharusnya kita merayakan kematian.
Begitulah saya kerap berpikir. Betapa kematian harusnya dihadapi dengan sebuah perayaan yang hingar-bingar—tak berarti pesta yang meriah, orang bisa merasakan gempita dalam kesendiriannya, kok. Penuh senyum. Dan tentunya, dengan segenap rasa bahagia.

Bahagia saja.
Bukan ikhlas. Bukan sabar. Sebagai mana nasihat bijak yang diberikan orang kepada mereka yang ditinggal pergi.

Namun, kenyataannya, saya justru sering mendapati hal sebaliknya. Menyaksikan orang yang menghadapi kematian dengan air mata dan wajah muram. Ketika kabar itu disampaikan kepada mereka, bibirnya melongo terperangah sembari berkata, ‘Ya, ampun’, ‘Aduh, nggak nyangka ya?’, ‘Lho, kenapa?’, ‘Masak sih?’. Atau, lebih memprihatinkan lagi, menangis meraung-raung, jatuh pingsan, bahkan terpukul yang amat sangat hingga ia tak bisa move on.

Saya tahu, kehilangan itu hal yang tak menyenangkan. Bahkan, untuk sebagian orang terasa mengerikan ketika menyadari orang itu sudah tidak bersama kita lagi.

Saya maklum dengan semua itu. Namun, daripada menghadapi kematian atau kehilangan itu sendiri, saya justru lebih gentar menghadapi reaksi orang atas kematian dan kehilangan. Ada banyak alasan yang membuat saya ketakutan menghadapi reaksi orang-orang yang kehilangan atau ditinggalkan.

Saya mencintai kehilangan dan kematian seperti saya mengagumi kekuatan atas rasa memiliki dan kehidupan. Saya tak mungkin hanya mencintai salah satunya. Saya khawatir, ketika saya hanya menyukai hidup saja atau terlalu larut dalam kehilangan, maka saya akan menjelma menjadi sosok yang lebih egois dan tidak stabil.

Ketika menerima berita tentang kematian, sesungguhnya, jauh di lubuk hati, saya menyelamati mereka. Bersuka cita atas kemerdekaan mereka dari tubuh. Atas aturan bull shit di dunia ini. Saya selalu berpikir, tak ada hal yang perlu disedihkan atau disesali untuk sebuah kematian. Apalagi ditangisi. Namun, reaksi itu tentunya akan disikapi dengan tak wajar oleh orang sekeliling saya.

Dan, jadilah saya orang yang kikuk menghadapi kematian di dunia nyata.
Kikuk karena saya jadi bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana harus bereaksi menghadapi kematian agar di kacamata orang lain, saya dianggap cukup punya hati.

Saya tak tahu, bagaimana cara yang paling baik menghadapi orang-orang yang ditinggal pergi selain diam. Buat saya, mereka tak butuh dihibur. Mereka hanya butuh didengarkan. Butuh merasa sedih. Butuh merasa kehilangan untuk meyakinkan diri bahwa ada sebagian dari orang itu pernah memiliki ‘emotional attach’ dengannya. Mereka hanya butuh alasan agar tidak merasa menyesal menjalani sisa waktu tanpa orang itu.

Saya pernah berada di dalam situasi di mana saya seharusnya menangis, meraung, memaki, mempertanyakan kematian. Kalau saya melakukan hal seperti itu, saya akan dianggap manusiawi. Namun, yang terjadi, saya justru diam, tak bersuara, tak menangis, dan tak seperti orang kehilangan. Dan demikianlah tudingan itu dihunjamkan kepada saya, diucapkan oleh orang yang seharusnya sangat mengenal karakter saya. ‘Kamu memang tak pernah menyayangi dia. Tak merasa kehilangan.’

Detik itu saya tahu inilah hari kematian jiwa saya. Serasa ada bolong lebar di hati. Sebuah kehilangan yang besar: kepercayaan bahwa saya bisa merasakan. Meskipun beda cara.

Hari itu juga saya belajar.
Kematian membuat orang yang ditinggalkan kehilangan hati. Kematian membuat yang ditinggal menjadi labil. Oversensitive. Dilegalkan untuk bersikap, bertindak, dan berkata apa pun. Dan saya harus menyiapkan sejuta alasan untuk memaafkan sesakit apa pun tudingan itu. Harap maklum. Ia baru saja kehilangan.
That’s it. Don’t argue.

Begitulah.
Saya juga kelelahan menghadapi reaksi dan pertanyaan orang tentang kematian.
Reaksi mereka seperti adegan template di mata saya: pandangan iba, kasihan, dan prihatin. Saya membenci itu. Rasa itu lalu akan disuarakan melalui bisikan, ‘yang tabah ya…’, ‘ikhlas’, dan masih banyak bisikan kata lainnya yang serupa kendati dengan redaksional beda. Maaf, saya muak menghadapinya.

Lalu, setelah itu, akan ada pertanyaan copy-paste: ‘bagaimana kejadiannya?’ Dengan tangan mengelus pundak, tatapan mata menunjukkan kepedulian, si penanya akan menanti dengan sabar cerita dari mulut orang yang kehilangan. Dan begitulah, dengan suara terbata-bata, orang yang ditinggal akan kembali menceritakan semua kejadian. Ia mengingat, terkenang, dan perlahan air matanya kembali berlinang. Mereka kemudian berpelukan. Saling menguatkan.

Sigh…
Saya sungguh kecut menyaksikan hal itu.
Rikuh dengan reaksi seperti itu. Kenapa mereka tak diam saja. Usah bertanya, karena sesungguhnya, untuk menceritakan ulang, itu sangat melelahkan.

Saya pernah menjawab dengan tertawa ketika seseorang bertanya pada saya bagaimana kejadiannya sehingga seseorang itu mati. ‘Seharusnya, saya merekam semua cerita itu. Lalu, ketika ada yang bertanya, saya tinggal menyalakan tape.’ Itu jawaban saya. Dan yang bertanya menyambut jawaban saya dengan senyum dipaksakan.

‘Dia mungkin satu-satunya orang yang tak bersedih.’
‘Dia kan memang yang mulutnya paling judes.’
Demikian hal itu kembali saya dengar. Saya kenyang dengan komentar itu. Dan, saya memilih tetap tak bereaksi.

Sampai hari ini, saya enggan bertanya kenapa seseorang mati ketika berhadapan dengan keluarga yang ditinggalkan. Saya terbiasa menghadiri pemakaman atau ritual melayat dengan muka lempeng. Tak ingin bertanya ‘kenapa?’ atau ‘bagaimana?’. Kalau pulang dari ngelayat, orang seringkali bertanya pada saya sebab musabab kematian orang yang meninggal. Saya sadar kalau saya sering menjawab, ‘tidak tahu’.

Dan orang akan kembali berkata, ‘Ya, dia kan mana peduli dengan hal seperti itu’, ‘Ya, dia kan nggak sensitif’, atau ‘Buat dia itu kan nggak penting’. Saya harus kembali menelan semua itu. Bahkan, untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya tak bertanya tentang hal itu pun terasa melelahkan buat saya. Dan memang, tak ada pentingnya. Saya memilih diam dan mengabaikannya.

Padahal, alasan saya sepele saja. Saya tak bertanya karena persoalan kematian memang bukan untuk dipertanyakan. Itu pertama. Yang kedua, akan sangat membantu bagi mereka yang ditinggalkan kalau kita tidak terlalu banyak bertanya tentang penyebab kematian itu. Percayalah, menjawab pertanyaan itu dalam kondisi kehilangan bukan perkara mudah. Jadi, mari kita ringkankan dengan tak banyak bertanya. Begitu menurut hemat saya.

Buat saya, memasang telinga, mendengarkan tanpa banyak bertanya dan komentar adalah cara saya berempati pada sebuah rasa kehilangan yang semu. Ya, semua karena bagi saya orang-orang yang pergi itu tetap hidup. Hidup dalam kenangan. Apalagi yang lebih abadi selain orang yang akan terus bercokol dalam pikiran kita selama hidup?

Saya merayakan kematian. Menikmati kehilangan.
Karena kematian mempertemukan saya pada nilai hidup. Kehilangan memperkenalkan saya kepada rasa rindu. Sebuah rasa yang membuat saya bisa lebih menghargai kenangan tentang orang-orang yang pernah hidup atau saya (sempat) miliki.

Hari ini, saya tengah merayakan kematian seseorang dengan cara saya.
Duduk sendirian di pojok sebuah kafe, menulis tentang kematian sambil menyesap satu teko Rooibos Lemon Grass Tea. Saya biarkan diri saya larut dalam pekatnya kenangan tentang dia.

Sementara,
di bagian lain Jakarta,
mereka yang berbaju hitam tengah bersiap menuju pemakaman.

Jakarta, 24 Juni 2008.
In memoriam, my beloved uncle that I called ‘Babeh’.
‘Thanks for always being my friend, not-like-an-ordinary-old-man.’Seharusnya kita merayakan kematian.
Begitulah saya kerap berpikir. Betapa kematian harusnya dihadapi dengan sebuah perayaan yang hingar-bingar—tak berarti pesta yang meriah, orang bisa merasakan gempita dalam kesendiriannya, kok. Penuh senyum. Dan tentunya, dengan segenap rasa bahagia.

Bahagia saja.
Bukan ikhlas. Bukan sabar. Sebagai mana nasihat bijak yang diberikan orang kepada mereka yang ditinggal pergi.

Namun, kenyataannya, saya justru sering mendapati hal sebaliknya. Menyaksikan orang yang menghadapi kematian dengan air mata dan wajah muram. Ketika kabar itu disampaikan kepada mereka, bibirnya melongo terperangah sembari berkata, ‘Ya, ampun’, ‘Aduh, nggak nyangka ya?’, ‘Lho, kenapa?’, ‘Masak sih?’. Atau, lebih memprihatinkan lagi, menangis meraung-raung, jatuh pingsan, bahkan terpukul yang amat sangat hingga ia tak bisa move on.

Saya tahu, kehilangan itu hal yang tak menyenangkan. Bahkan, untuk sebagian orang terasa mengerikan ketika menyadari orang itu sudah tidak bersama kita lagi.

Saya maklum dengan semua itu. Namun, daripada menghadapi kematian atau kehilangan itu sendiri, saya justru lebih gentar menghadapi reaksi orang atas kematian dan kehilangan. Ada banyak alasan yang membuat saya ketakutan menghadapi reaksi orang-orang yang kehilangan atau ditinggalkan.

Saya mencintai kehilangan dan kematian seperti saya mengagumi kekuatan atas rasa memiliki dan kehidupan. Saya tak mungkin hanya mencintai salah satunya. Saya khawatir, ketika saya hanya menyukai hidup saja atau terlalu larut dalam kehilangan, maka saya akan menjelma menjadi sosok yang lebih egois dan tidak stabil.

Ketika menerima berita tentang kematian, sesungguhnya, jauh di lubuk hati, saya menyelamati mereka. Bersuka cita atas kemerdekaan mereka dari tubuh. Atas aturan bull shit di dunia ini. Saya selalu berpikir, tak ada hal yang perlu disedihkan atau disesali untuk sebuah kematian. Apalagi ditangisi. Namun, reaksi itu tentunya akan disikapi dengan tak wajar oleh orang sekeliling saya.

Dan, jadilah saya orang yang kikuk menghadapi kematian di dunia nyata.
Kikuk karena saya jadi bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana harus bereaksi menghadapi kematian agar di kacamata orang lain, saya dianggap cukup punya hati.

Saya tak tahu, bagaimana cara yang paling baik menghadapi orang-orang yang ditinggal pergi selain diam. Buat saya, mereka tak butuh dihibur. Mereka hanya butuh didengarkan. Butuh merasa sedih. Butuh merasa kehilangan untuk meyakinkan diri bahwa ada sebagian dari orang itu pernah memiliki ‘emotional attach’ dengannya. Mereka hanya butuh alasan agar tidak merasa menyesal menjalani sisa waktu tanpa orang itu.

Saya pernah berada di dalam situasi di mana saya seharusnya menangis, meraung, memaki, mempertanyakan kematian. Kalau saya melakukan hal seperti itu, saya akan dianggap manusiawi. Namun, yang terjadi, saya justru diam, tak bersuara, tak menangis, dan tak seperti orang kehilangan. Dan demikianlah tudingan itu dihunjamkan kepada saya, diucapkan oleh orang yang seharusnya sangat mengenal karakter saya. ‘Kamu memang tak pernah menyayangi dia. Tak merasa kehilangan.’

Detik itu saya tahu inilah hari kematian jiwa saya. Serasa ada bolong lebar di hati. Sebuah kehilangan yang besar: kepercayaan bahwa saya bisa merasakan. Meskipun beda cara.

Hari itu juga saya belajar.
Kematian membuat orang yang ditinggalkan kehilangan hati. Kematian membuat yang ditinggal menjadi labil. Oversensitive. Dilegalkan untuk bersikap, bertindak, dan berkata apa pun. Dan saya harus menyiapkan sejuta alasan untuk memaafkan sesakit apa pun tudingan itu. Harap maklum. Ia baru saja kehilangan.
That’s it. Don’t argue.

Begitulah.
Saya juga kelelahan menghadapi reaksi dan pertanyaan orang tentang kematian.
Reaksi mereka seperti adegan template di mata saya: pandangan iba, kasihan, dan prihatin. Saya membenci itu. Rasa itu lalu akan disuarakan melalui bisikan, ‘yang tabah ya…’, ‘ikhlas’, dan masih banyak bisikan kata lainnya yang serupa kendati dengan redaksional beda. Maaf, saya muak menghadapinya.

Lalu, setelah itu, akan ada pertanyaan copy-paste: ‘bagaimana kejadiannya?’ Dengan tangan mengelus pundak, tatapan mata menunjukkan kepedulian, si penanya akan menanti dengan sabar cerita dari mulut orang yang kehilangan. Dan begitulah, dengan suara terbata-bata, orang yang ditinggal akan kembali menceritakan semua kejadian. Ia mengingat, terkenang, dan perlahan air matanya kembali berlinang. Mereka kemudian berpelukan. Saling menguatkan.

Sigh…
Saya sungguh kecut menyaksikan hal itu.
Rikuh dengan reaksi seperti itu. Kenapa mereka tak diam saja. Usah bertanya, karena sesungguhnya, untuk menceritakan ulang, itu sangat melelahkan.

Saya pernah menjawab dengan tertawa ketika seseorang bertanya pada saya bagaimana kejadiannya sehingga seseorang itu mati. ‘Seharusnya, saya merekam semua cerita itu. Lalu, ketika ada yang bertanya, saya tinggal menyalakan tape.’ Itu jawaban saya. Dan yang bertanya menyambut jawaban saya dengan senyum dipaksakan.

‘Dia mungkin satu-satunya orang yang tak bersedih.’
‘Dia kan memang yang mulutnya paling judes.’
Demikian hal itu kembali saya dengar. Saya kenyang dengan komentar itu. Dan, saya memilih tetap tak bereaksi.

Sampai hari ini, saya enggan bertanya kenapa seseorang mati ketika berhadapan dengan keluarga yang ditinggalkan. Saya terbiasa menghadiri pemakaman atau ritual melayat dengan muka lempeng. Tak ingin bertanya ‘kenapa?’ atau ‘bagaimana?’. Kalau pulang dari ngelayat, orang seringkali bertanya pada saya sebab musabab kematian orang yang meninggal. Saya sadar kalau saya sering menjawab, ‘tidak tahu’.

Dan orang akan kembali berkata, ‘Ya, dia kan mana peduli dengan hal seperti itu’, ‘Ya, dia kan nggak sensitif’, atau ‘Buat dia itu kan nggak penting’. Saya harus kembali menelan semua itu. Bahkan, untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya tak bertanya tentang hal itu pun terasa melelahkan buat saya. Dan memang, tak ada pentingnya. Saya memilih diam dan mengabaikannya.

Padahal, alasan saya sepele saja. Saya tak bertanya karena persoalan kematian memang bukan untuk dipertanyakan. Itu pertama. Yang kedua, akan sangat membantu bagi mereka yang ditinggalkan kalau kita tidak terlalu banyak bertanya tentang penyebab kematian itu. Percayalah, menjawab pertanyaan itu dalam kondisi kehilangan bukan perkara mudah. Jadi, mari kita ringkankan dengan tak banyak bertanya. Begitu menurut hemat saya.

Buat saya, memasang telinga, mendengarkan tanpa banyak bertanya dan komentar adalah cara saya berempati pada sebuah rasa kehilangan yang semu. Ya, semua karena bagi saya orang-orang yang pergi itu tetap hidup. Hidup dalam kenangan. Apalagi yang lebih abadi selain orang yang akan terus bercokol dalam pikiran kita selama hidup?

Saya merayakan kematian. Menikmati kehilangan.
Karena kematian mempertemukan saya pada nilai hidup. Kehilangan memperkenalkan saya kepada rasa rindu. Sebuah rasa yang membuat saya bisa lebih menghargai kenangan tentang orang-orang yang pernah hidup atau saya (sempat) miliki.

Hari ini, saya tengah merayakan kematian seseorang dengan cara saya.
Duduk sendirian di pojok sebuah kafe, menulis tentang kematian sambil menyesap satu teko Rooibos Lemon Grass Tea. Saya biarkan diri saya larut dalam pekatnya kenangan tentang dia.

Sementara,
di bagian lain Jakarta,
mereka yang berbaju hitam tengah bersiap menuju pemakaman.

Jakarta, 24 Juni 2008.
In memoriam, my beloved uncle that I called ‘Babeh’.
‘Thanks for always being my friend, not-like-an-ordinary-old-man.’

Merah itu (bukan) Cinta

Aku benci menstruasi karena membuat aku teringat kalau aku perempuan.
Jangan salah, aku tak pernah membenci kelaminku yang perempuan. Tidak. Namun, kalau boleh memilih, aku ingin lahir sebagai manusia saja. Tanpa kelamin. Androgini. Aseksual.

Jangan tanya kenapa. Aku sedang tak ingin membahasnya. Selalu ada malam panjang untuk perdebatan yang muncul akibat pernyataan itu.

Sebentar saja, jangan masukkan kodrat dalam percakapan kita. Aku sedang tak bicara tentang kodrat. Cukup, sediakan waktu dan kuping saja untukku. Begitu selesai, buang cerita ini dari memori otakmu. Bukan sesuatu yang harus diingat. Ini hanya gerundelan di masa datang bulan. Cerita sampah yang tak usah diteruskan.

Saat ini, aku sedang ingin berbicara tentang darah. Darah yang mengalir dari vaginaku setiap bulan. Itu kalau lagi teratur. Setahun sekali, kalau ia lagi kumat tak ingin teratur. Tapi, aku nyaris tak pernah peduli kapan ia akan datang. Teratur atau tidak. Masa bodoh. Lebih bagus kalau ia tak datang. Tak perlu merasa sakit hingga berguling-guling.

Aku membenci menstruasi.
Membenci rasa sakit pada perut. Rasa perih di bibir vagina. Dan rasa miris melihat merahnya yang mengalir di antara selangkangan. Darahnya mengingatkan aku pada merah yang perih. Merah yang menyayat. Merah yang (bukan) cinta. Merah yang penuh luka.

Penuh luka. Penuh dendam. Luka dan dendam milik perempuan. Perempuan itu menangis di sudut kamarku. Meratapi perih di kelamin dan perutnya. Dia tidak sedang datang bulan. Namun ia meringis memegang perut. Perempuan itu baru saja menggugurkan kandungannya. Ia pendarahan. Ia memerah.

Aku meringis. Lantai kamarku yang putih kini dinodai merah. Dari sela kakinya, darah merembes. Mengalir turun ke paha, betis, mata kaki hingga memerciki lantai kamar. Aku bergidik. Menahan napas. Menahan sakit yang juga mendera perutku.

Ia menangis. Aku meringis. Digigitnya bibir bawah hingga berdarah. Luka. Luka yang tak sebanding dengan perih di hatinya. Aku beringsut. Mengambil tissue di meja kamar. Mengelap lantai di bawah kakinya. Aku pun perih. Seperti pembalut, tissue itu menyerap merah.

Perempuan itu tergugu. Aku terpaku. Bicara sepertinya tak akan cukup membuat perasaannya membaik. Bisu adalah pilihanku. Dan kami membatu sambil menatap merah. Merah itu darah.

Ke mana lelaki itu? Ke mana cinta itu? Merah sepertinya (bukan) cinta.
Aku mendendam. Mendendam kepada merah.

Aku membenci menstruasi.
Ia mengingatkanku pada merah. Merah yang sakit.

Rasa sakit di perut rahim terus berteriak. Menendang-nendang selaput rahim agar darahnya menggelontor. Aku meringis, menahan perih. Sakit. Lalu, rasa hangat tiba-tiba terasa di selangkangan. Sesuatu mengalir. Darah kotor itu ke luar, tertampung di roti jepang yang menempel pada celana dalam. Aku memejamkan mata. Menahan sensasi yang turun dari perut menuju titik di bawah sana. Dan setelah itu, apakah aku dianggap bersih?

Aku benci menstruasi.
Darahnya mengingatkanku kepada kelaminku. Kenapa darah begitu dekat dengan perempuan?

Aku benci menstruasi.
Sebab ia melarang perempuan bercinta.

Kekasih Hujan

Perempuan itu masih menunggu.
Di sana.
Di pinggir jendela dengan kacanya yang megah dan polos.
Duduk seorang diri menatap ke luar.
Menanti entah apa. Melihat entah ke mana.

Ia bergeming.
Siang ini memang dingin. Hangat matahari sedari pagi enggan menyapa Jakarta di bulan Januari. Ia rapikan syal merah yang membalut lehernya. Begitu kontras dengan pakaian hitam yang dikenakannya. Mukanya polos tak berpoles. Ia sendiri. Tapi aku tak yakin apakah ia kesepian. Sebab, ada senyum tipis di ujung bibirnya yang merah jambu. Mungkin, ia terkenang pada sesuatu.

Kenangan yang membuat pipinya menjadi semerah dadu.

Perlahan, disesapnya cangkir teh yang ada di hadapannya. Sesekali bibirnya meniup-niup minuman yang mengepulkan asap.

Pernah, ia menoleh. Membuang pandangannya dari jendela. Aku mengartikannya itu seperti upaya ia untuk keluar dari dunia miliknya sendiri sejenak. Dan sejenak itu yang aku simpan di dalam memori otakku. Mata cokelatnya yang pias bertemu mataku. Aku membeku.

Matanya bicara banyak. Namun, ia enggan membaginya dengan orang lain, termasuk aku. Dibatasinya aku dengan sebaris senyum. Tipis. Setipis tadi. Sayang, tak semanis tadi.

Mungkin ini bisa disebut astral. Aku seolah dilempar ke tepi pintu dunianya. Meraba-raba, apa yang tengah ia pikirkan. Menebak adakah yang ia tunggu.
Seorang lelaki?
Sahabat?
Rekanan bisnis, mungkin.
Atau, sekadar menghabiskan waktu untuk bertemu kenangannya.
Namun, daun pintunya tak terkuak. Aku tetap sibuk menebak-nebak.
***
Suara petir menggelegar. Langit kelabu di luar sana memuntahkan hujan. Ia kembali memandang ke jendela. Meninggalkan aku yang kehausan akan dirinya. Tak beringsut dari tepi jendela. Omongan orang tua, ‘Jangan berdiri di dekat jendela kalau hujan, nanti disambar geledek’ tak diacuhkannya. Bahkan, ujung jarinya kini menempel di kaca. Ikut menyusuri bulir air yang jatuh. Lambat bergerak. Seperti bom waktu yang menunggu meledak. Sebelum menghentak ke tanah dan melesak dengan membawa seribu kisah.

Aku tercenung.
Perempuan itu seolah tengah bercakap dengan hujan.
Berbagi cerita yang membuat bibirnya terus menyinggungkan senyuman tipis nan manis.
Aku mati penasaran. Aku cemburu pada hujan. Mereka tampak begitu mesra. Tak berjarak. Tak ada tempat untukku. Padahal, aku begitu memujanya. Mencintai setiap jengkal dirinya, sekecil apa pun.

Apa yang ia bisikan kepada hujan?
Sepertinya, ia berkisah tentang banyak hal. Terlihat begitu akrab. Sementara aku, tetap di sini. Mendambanya tak tentu arah. Aku seperti pesakitan. Mengamati setiap geraknya. Di setiap hari ketika hujan turun. Duduk di bangku yang sama. Memandang hal yang sama. Namun, tak juga bisa menebak apa. Bahkan, tak juga sepenggal kata, ‘hallo’ untuk menyapa.

Mungkin, besok, bisa aku mulai dengan ‘selamat pagi’. Atau, ‘hai ketemu lagi’. Setiap hari, menjelang pulang selalu kuniatkan itu. Tapi, sampai hari ini, tak sepatah kata pun keluar dari bibirku, ketika esoknya aku melihatnya lagi. Aku memilih menatapnya saja. Mengajaknya bicara dalam diam.

Ia pemandangan yang indah buatku hari ini.
Sama seperti kemarin.
Kemarin.
Dan kemarinnya lagi.
Ketika hujan turun: Ia selalu ada di situ.
Dan aku selalu di sini. Menjadi pemuja gelap Sang Kekasih Hujan.

Thursday, February 21, 2008

Kisah Sebatang Cokelat : Sebuah Rasa Masa Kecil

Waktu kecil, saya suka sekali makan cokelat. Sangat suka sehingga setiap kali ada teman papa atau mama datang, atau siapa pun yang bertamu ke rumah, kerap membawakan saya oleh-oleh berupa cokelat.

Sebatang cokelat itu saja sudah membuat saya senang.

Saya ingat, cokelat kegemaran saya waktu itu adalah Van Houten. Saya tidak tahu dengan jelas, kenapa saya begitu kecanduan merek cokelat asal Negeri Kincir Angin itu. Padahal, kalau dibandingkan dengan cokelat yang saat ini beredar di pasaran, rasanya tak ada beda.

Van Houten polos tanpa kacang mete atau raisin atau almond. Hanya cokelat. Tak perlu banyak rasa. Sebulan sekali—selain mengandalkan buah tangan tamu yang bertandang—kakek saya selalu membawa saya ke Pasar Cinde, Palembang. Itu pasar tradisional terbesar di Palembang. Segalanya ada di situ. Alat tulis, mainan, dan makanan. Pusat aktivitas Kota Palembang, sebelum kemudian pasar yang lebih modern menenggelamkannya, menggantikannya dengan aktivitas yang tak perlu mengenal tanah becek karena hujan atau bau amis ikan dan daging yang menguar.

Pasar Cinde punya sejuta kenangan buat saya. Saban kakek saya pergi mengambil pensiunnya sebulan sekali, ia selalu mengajak saya ke pasar itu. Sebatang cokelat Van Houten polos, sekotak kue Holland, dan sepaket pensil warna atau alat tulis, akan berpindah ke tas saya.

Kakek saya seorang yang ramah. Tinggi, kurus, murah senyum, dan suka menyapa semua orang. Bahasa Inggrisnya lancar bukan main. Ke mana pun dia pergi, selalu ada kamus saku bahasa Inggris di kantongnya. Ia sering sekali mengajak saya bicara dalam bahasa Inggris. Waktu kecil, saya tak paham dia bicara apa. Dia selalu menuliskannya di buku catatan saya dengan pensil warna yang dibelikannya.

Karena kakek saya, saya suka mengamati hiruk pikuk pasar. Ia menggandeng tangan kecil saya. Mengajak saya menyusuri setiap lorongnya. Menunjuk ini dan itu, lalu akan bertanya, ‘Wendy, nak apo
[1]?’ Wendy. Ya. Wendy bukan Windy. Dialah satu-satunya orang yang memanggil saya seperti itu.

Dan saya akan memulai menunjuk, apa saja yang saya mau. Namun, belanjaan tetap yang akan selalu saya dapatkan tanpa perlu meminta adalah sebatang cokelat Van Houten dan sekotak roti Holland.

Kakek saya pun penggemar cokelat. Pulang dari pasar, dia akan duduk di kursi di teras rumah, membuka cokelat, dan membaca koran hari itu. Saya akan duduk di dekat kakinya, membuka cokelat, dan mengeluarkan buku gambar saya. Ia akan membacakan koran keras-keras agar saya mendengar. Saya akan sibuk menggambar. Biasanya gambar apa saja yang saya lihat di pasar hari itu. Selesai membaca koran, dia akan membuka kamus bahasa Inggris-nya lalu mulai membaca. Begitulah selalu. Tentunya, sambil kita berdua memakan cokelat.

Sebatang cokelat Van Houten polos selalu melemparkan saya ke masa kecil. Rasa kanak-kanak yang manis. Yang hangat. Terlebih lagi, yang membuat saya selalu terkenang pada sosok yang begitu lekat. Kakek saya.

Semua orang bilang saya mirip dia. Tinggi, kurus, berkulit cokelat, dan bermata cokelat. Suka makan manis, lebih memilih makan roti daripada nasi, penggemar cokelat dan permen. Tak suka obat. Tak suka pahit. Suka menggambar. Suka menulis di catatan harian. Saya rasa, kebiasaan saya membaca kamus pun keturunan dari dia.

Dan dia pandai bercerita. Selalu membuat saya tergelak-gelak dengan komentarnya. Bicaranya ceplas-ceplos. Tanpa tedeng aling-aling. Straight to the point. Suka bilang suka. Jelek bilang jelek. Kadang komentarnya juga sarkas. Tapi menurut saya, dia orang paling jujur di muka bumi ini. Saya sungguh memujanya.

Dialah juga yang memberi nama saya Windy. Tapi, dia pulalah satu-satunya orang yang memanggil saya ‘Wendy’. Lafalkan ‘i’ menjadi ‘e’ dalam konteks bahasa Inggris. Dia satu-satunya orang yang patuh pada aturan itu.

Saya merindukan cara dia memanggil nama saya. Selalu dilagukan.
‘Weeendy! Apo kato koran hari ini?’ tanyanya pada saya ketika saya sudah duduk di bangku kuliahan dan memutuskan setahun kuliah di Universitas Sriwijaya. Waktu bergulir. Dulu dia yang rajin membacakan koran untuk saya. Sekarang, tugas sayalah yang membacakan berita untuk dia. Tak ada yang berubah dengan kegemarannya yang lain. Ia masih suka mengambil buku sketsa saya, lalu ikut menggambar di situ.

Sampai kemudian ia jatuh sakit. Saya sudah tidak lagi berkuliah di Palembang. Sibuk mengejar ambisi sendiri. Berlari. Hari itu, saya memutuskan pulang ke Palembang untuk menjenguknya.

Dia tergeletak di ranjang rumah sakit. Tubuh kurusnya dibalut selimut. Jarum infus menikam urat di lengannya. Sama seperti dia, saya tak pernah suka bau rumah sakit. Saya rasa, dia pun tak pernah berharap masuk rumah sakit. Saya tahu dia tak betah. Ketika sadar saya datang mendekat, ia mengangkat tangannya. ‘Aaah, Wendy datang!’

‘Iya.’ Saya menjawab lirih sambil memegang tangannya. Meyakinkannya kalau saya memang ada di situ.
‘Naik apo kau? Dak kuliah?
[2]
‘Idak,
[3]’ jawab saya.
‘How are you, Wendy?’ tanya dengan logat Inggris yang sempurna.
‘Fine.’
‘I am fine, Wendy. Jangan disingkat.’ Koreksinya.
‘Yes, I am fine, Granpha.’
‘That’s good.’
Dia mengambil sesuatu dari balik kantongnya. Kamus saku bahasa Inggris. Sampulnya yang dulu berwarna merah sudah tak ada. Kertas yang dulu putih kini menguning. Usang. Seusang usianya dan umur saya yang meranjak matang.

‘Bacakan kamus ini untukku. Susternyo dak pacak
[4]diajak ngomong Inggris,’ pintanya.
Saya menerima kamusnya. Itu kamus yang sama dengan ketika saya masih kecil dulu. Bahkan, saya menemukan coretan tulisan saya yang masih jelek. Olehnya, tulisan itu dilingkari spidol merah dan diberi keterangan : ‘Tulisannya Wendy’.

Saya mengembuskan napas. Satu hari di masa kecil saya, dia meminta saya menulis tulisan dalam bahasa Inggris, ‘My name is Wendy’. Betapa dia dan saya terperangkap dalam kapsul waktu milik kami untuk sesaat.
‘Kau bawaken aku apo, Wendy, dari Jawo?
[5]’ Setelah setahun kuliah di Palembang, saya memutuskan pindah kuliah ke Universitas, Brawijaya, Malang.
‘Cokelat. Van Houten dan sekotak kue Holland. Yek nak makannyo
[6]?’
‘Cokelat bae. Tapi, kau sambil baco kamus terus yo?
[7]’ Saya mengangguk. Membuka bungkusan cokelat dan mengmabil kamus dari tangannya, lalu mulai membaca.

Siang itu, seharian saya habiskan di rumah sakit. Bertahan mencium bau rumah sakit yang tak saya suka dan bau obat yang keluar dari sekujur tubuh kakek saya. Entah, kapan, saya jatuh tertidur di samping tempat tidurnya. Dengan tangan telengkup menyanggah kepala saya. Ketika bangun, saya merasakan tangan kakek saya ada di kepala. Mengelus rambut saya. Dan, lirih saya dengar, suaranya yang terus membaca kamus dengan lafal terpatah-patah. Sepertinya, ia kesulitan bernapas.

Saya menyayangi dia. Buat saya, dia adalah orang yang berbagi begitu banyak kenangan dengan saya. Berbagi banyak hari. Berbagi banyak kemiripan. Berbagi banyak rahasia. Berbagi banyak luka.

Dan berbagi banyak cinta.

Sampai kemudian, ia meninggalkan saya. Ia meninggal dalam tidurnya. Bukan di rumah sakit. Tapi di rumah, di kamarnya sendiri. Kabar itu saya terima lewat telepon. Semua orang berhati-hati menyampaikannya kepada saya. Tapi, saya tak sekaget yang mereka duga. Jauh sebelum itu, ia telah berpamit pada saya. Berbisik pada saya bahwa ia harus ‘pulang’, namun bukan berarti menghilang. Ia hanya tak berada bersama saya lagi dalam satu dimensi waktu dan ruang. Ketika saya kangen padanya, ia menjelma jadi kenangan. Yang manis. Semanis cokelat Van Houten. Yang harum. Seharum bau roti Holland.

Namun, entah sejak kapan, saya tak lagi suka cokelat dan permen. Tak lagi gandrung roti Holland. Dan berhenti menggambar. Sebatang cokelat tak lagi bisa membuat saya tersenyum manis. Sekotak roti Holland tak bisa membuat saya tertawa lebar.

Sebatang cokelat tak lagi bisa membuat saya senang.

Hingga hari kemarin. Di sebuah kota yang kita sebut Jakarta.
Ketika saya sedang menyusuri lorong-lorong di sebuah pasar modern yang tak mengenal becek karena berlantai porselen. Saya berhenti di sebuah rak. Sebatang cokelat Van Houten tergeletak di situ. Hanya sebatang. Cokelat merek sejenis tampaknya habis. beberapa saat saya terdiam, sebelum kemudian memutuskan meraihnya. Menciuminya. Berharap, ada aroma Van Houten yang saya kenal ketika masih kecil. Sekejap, semua kisah itu menyeruak. Wajah kakek saya terbayang di benak. Senyum lebarnya dan suara khasnya ketika memanggil nama saya, “Weendy!’ seolah berdengung.

Sebuah rasa masa kecil.
Hangat.
Penuh cinta.

Dan saya berdiri tercenung sambil tersenyum di depan rak itu. Sibuk menciumi sesuatu. Saya terkenang pada perasaan senang karena sebatang cokelat Van Houten.

Dan saya ingin berbagi. Berbagi rasa itu.
Refleks saya mengambil sembilan cokelat merek lainnya. Bukan merek Van Houten karena hanya tersisa satu. Sembilan cokelat tak polos, ada campuran kacang dan raisin. Maksud hati, ingin membelikan dark chocolate untuk mereka. Sayang, ternyata, harga cokelat hitam lebih mahal dari cokelat biasa. Padahal, konon rasa cokelat hitam lebih pahit. Namun, untuk alasan kesehatan cokelat ini lebih baik.

Saya tersenyum kecil. Kali ini bukan karena cokelat. Tapi karena teringat dengan ledekan para anak ayam. Mereka suka mengistilahkan saya sebagai dark chocolate. Orang yang nggak punya sisi manis. Nggak selembut marshmallow. Lalu, kalau memang dark chocolate nggak selezat dan selembut itu kenapa harganya lebih mahal?

Saya lantas sok berfilosofis. Jadi filsuf yang membahas tentang rasa pahit pada dark chocolate. Well, ibaratkanlah ini sebuah kehidupan. mungkin, karena sebuah kepahitan, seorang jadi bisa menghargai rasa manis. Untuk bisa merasa bahagia, ia harus melampaui apa yang disebut sedih dan kesakitan itu sendiri. Karena itulah ia menjadi orang yang tahu apa itu bahagia. Tahu apa itu cinta. Tahu apa itu kehilangan. Tahu, bahwa semua rasa ‘pahit’ itulah yang meninggalkan manis di ujung lidah. Selalu ada harga untuk segala sesuatu. Dan itu yang paling mahal : proses.

Saya hanya ingin membagi rasa cinta yang saya kenal kepada sembilan orang kawan saya di GagasMedia. Orang-orang yang belakangan ini sangat saya sadari, memerhatikan saya. Berusaha memahami saya. Namun, kerap kali saya kecewakan dengan sikap acuh saya. Mungkin, justru saya yang tak mengizinkan mereka mengenal saya. Mungkin, bukan saya yang tak punya ruang, namun saya yang enggan membuka ruang. Di bungkus cokelat itu, saya tempelkan sebuah pesan untuk mereka : ‘Ternyata harga dark chocolate lebih mahal….-13’

Lewat cokelat beserta pesan itulah saya ingin membagi apa yang saya rasakan dengan mereka. Membiarkan mereka bertandang ke teras hati saya. Melihat dan mencicipi cinta a la saya. Tak mewah. Kecil dan sederhana saja. Rasa cinta yang begitu abadi, antara saya dengan seorang. Sebuah rasa dari masa kecil saya. Tentang dia. Seorang lelaki yang saya panggil, ‘Yek
[8]’.

Dan mungkin, itu pula rasa cinta saya kepada mereka.
Tak besar. Kecil saja. Tapi abadi. Seperti kuku jari. Selalu tumbuh.

---



[1] ‘Wendy, mau apa?’—bahasa Palembang.
[2] ‘Naik apa kamu? Tidak kuliah?’
[3] ‘Tidak.’
[4] ‘…Susternya tidak bisa….’
[5] ‘Kau bawakan aku apa, Wendy, dari Jawa?’
[6] ‘…Yek mau makannya?’ Yek adalah panggilan saya untuk kakek saya.
[7] ‘Cokelat saja. Tapi, kamu sambil terus bacakan kamusnya, ya?’
[8] ‘Kakek.

Friday, February 15, 2008

Diary Emak Ayam 2 : Sodomi Massal

Sebutlah hari yang kemarin saya lalui sebagai: Hari Sodomi Massal.
Hahaha.
Apa iya?

Tapi, memang begitulah yang terjadi.
Entah ada apa dengan Valiant si Om Bandot dan Christian bin Bullier, pasangan Kulkas Dua Pintu—julukan Muti (Bukune) untuk pria-pria berbadan besar ini—hari itu. Mereka tampak begitu liar dan tak terkendali. Mirip monyet kalo lagi horny. Atau mungkin, mereka merasa superior dari sisi fisik sehingga tindakan bully mereka pun semakin merajalela. Menindas yang kecil, melibas yang mungil.

Seharusnya, saya sudah bisa mencium gelagat ini sejak seminggu yang lalu. Tepat hari pertama saya memungut Val sebagai Anak Ayam kesembilan. Atau, sebutlah, saya sudah tertipu dengan wajahnya yang se-chubby bayi raksasa, padahal sungguh dia sepahit empedu. (hallah….)

Kemalangan menimpa satu per satu anak ayam, dan merembet ke para anak kambing—julukan saya untuk teman-teman Bukune. Ceritanya, sore itu saya sehabis mengantarkan para anak kambing ke Planet Hollywood. Ada launching buku terbaru mereka. Jadilah, saya meninggalkan para anak ayam bersama papa mereka. Agak waswas juga. Karena di siang harinya, berdasarkan laporan Alit dan Resita, sebelum saya pergi pun Val sudah melakukan tindakan tanpa mengindahkan ukuran tubuh kepada si Resita. Ia mengangkat-ngangkat Resita. Lalu, sengaja membawa-bawa gunting berupaya memotong rambut si gadis bermata sipit itu. Sebelumnya, Val tertangkap basah sedang melakukan upaya pemotongan buntut rambut saya yang sudah mencapai punggung.

Saya percaya dengan cerita Alit dan Resita. Karena bukti-bukti yang menunjukkan duo gerombolan si berat ini demen melakukan tindakan kekerasan cukup banyak. Saya termasuk yang kerap menjadi korban. Contohnya, ketika saya berpas-pasan dengan Val dan Christ di pintu masuk kantor, tiba-tiba kedua orang ini menyeret saya sambail berlari dan melempar saya masuk ke dalam mobil panther hijau Val. ‘Ini penculikan!’ teriak mereka. ‘Cepat masuk!’ Suara Christo bikin telinga saya pekak. Dan mereka memaksa saya memakai topi cina yang dibeli Val ketika kami mengunjungi sebuah pameran buku di Bandung. Sungguh perbuatan yang kurang pas. Topi cina tidak pantas di kepala saya, mengingat kepala saya kecil dan kulit saya cokelat. Harusnya, mereka memasang topi bulu-bulu suku Indian. Itu baru cocok.

Sungguh, saya tak paham. Ada apa dengan kedua makhluk itu. Mereka yang sudah tak lucu itu berubah jadi momok bagi saudara-saudaranya. Saya rasa, saya butuh obat penjikan untuk jenis binatang menjelang masa kawin atau jam-jam horny-nya.

Saya mulai berpikir, mungkin mereka menegak dopping sebelum berangkat kerja, dan dosisnya terlalu tinggi sehingga hiperaktif. Tapi, kecurigaan saya tampaknya tak beralasan. Menjelang deadline atau ketika mendekati makan siang, kelakuan mereka akan semakin beringas. Atau mereka mengosumsi obat perangsang melebihi takaran? Begitu pikir saya lugu. Sayang, kelakuan mereka sepertinya bukan tanda-tanda overdosis, deh.

Dan, malapetaka itu terus berlanjut hingga sore menjelang.
Saya baru pulang dari Planet Hollywood. Masuk ke kandang Gagas dengan ceria. Selayaknya seorang emak yang meninggalkan anak-anaknya, saya kangen ingin berjumpa wajah mereka dan mendengar celoteh nyaring mereka. Namun, keinginan itu luluh lantak seketika. Ketika saya sedang bicara berhadap-hadapan dengan Alit, Val dan Christ dengan sengaja menjepit kami. Menggencet kami di antara besar tubuh dan timbunan lemak perut mereka. Rasanya seperti ditindih dua mahmot zaman es. Ugh.

Melihat saya dan Alit tak berdaya, rupanya mereka ingin ekspansi mencari korban lain. Rizal (Bukune)—well, FYI, GagasMedia itu selain penerbitan, kandang ayam, juga membuka jasa toilet umum—datang buat pipis. Mereka dengan wajah manis pun menyambut. Rizal nggak curiga. Tengah enak dia berjalan menuju surga untuk buang hajat, Christo dan Val kembali melancarkan serangan. Tapi kali ini, saya juga terjepit di tengah-tengah mereka bertiga. Kalau yang pertama terasa empuk meski berat—mengingat alit, Christ, dan Val termasuk dalam suku perut buncit—yang kali ini terasa membentur tulang dan sakit. Ya iya lah, Rizal dan saya sama-sama terdiri dari susunan tulang yang dibalut minim lemak.

Masih dengan menyisakan tawa di ujung, tiba-tiba Muti datang. Sama kayak Rizal, dia pengen uang hajat: boker. Mukanya sih polos nggak curiga. Val dengan manis dan ramahnya mempersilakan Muti menggunakan kamar mandi. Ketika Muti hendak menuju toilet, kami bertiga (saya, Val, Christ) segera menyerang Muti. Menghimpitnya, menggenjetnya, dan membuatnya penyet! Namun, selalu sial bagi saya, saya selalu keplenet. Kali ini kepala saya dan Muti berbenturan cukup keras. Saya pusing. Muti puyeng. Kami jatuh bersamaan. Dua makhluk raksasa itu tertawa terbahak-bahak. Muti mendadak nggak pengen boker—semuanya masuk lagi ke dalam. Kepala saya masih cenut-cenut. Di antara sisa kesadarannya, Muti berlari kembali ke kandang Kambing. Berteriak memanggil Tata, memeluknya, dan menumpahkan segala petaka yang di hadapinya ke dada Tata yang nggak bidang.

Tata, dengan dada terbusung dan wajah yang distel sebagai sosok pelindung, kembali mengantarkan Muti ke ruangan Gagas untuk boker. Sebenarnya, segala upaya Tata untuk terlihat sangar sangatlah percuma. Ibarat pepatah, bagai menepuk angin. Christ dan Val secara wajah dan fisik jauh lebih besar dan sangar jika dibandingkan dengan Tata.

‘Kalian ngapain Muti?’
‘Nggak. Kita cuma ngajak dia main,’ jawab Val sok lugu.
‘Nggak mungkin. Muti sampai trauma.’ Tata defensif. Kali ini dia berjalan mendekati meja Resita yang udah kosong. Muti ngekor di belakangnya. Saya berdiri di dekat kubikal Alit yang posisinya di sebelah kubikal Resita. Christ berdiri di belakang Muti. Val di samping Tata yang sedang berupaya tampak seperti juru selamat.

‘Nggak Mba Tati—panggilan Muti pada Tata—mereka menggenjetku!’ teriak Muti. ‘Kulkas dua pintu itu membuat aku trauma!’
“Masak sih…!!!!’ teriak Val dan Christ berbarengan. Entah, siapa yang mengomando, Val dan Christ bersamaan berlari ke arah Muti dan kembali menggenjetnya. Tata yang melihat Val berlari ke arahnya refleks menyelamatkan diri. Ia melompat dengan gesit, dan sembunyi ke dalam kubikel Val yang ada di depan kubikel Resita. Saya juga heran, betapa dalam kondisi terjepit, Tata bisa meloloskan diri selicin belut. Padahal, dia kan spesies kuda nil?

Muti?
Well well well. Nasib Muti memang apes. Memilih pelindung yang jago meloloskan diri sendiri. Sebenarnya, Muti sudah melakukan upaya penyelamatan, namun ia salah langkah. Kalau Tata segera berlari dan melompat ke samping. Muti justru mundur ke belakang dan menabrak Christ. Ia seperti menyerahkan diri ke mulut beruang. Valiant pun datang menyerang. Dan Brukkkk…

Kembali Muti menjadi korban. Dan mengalami trauma yang berkepanjangan.

Saya?
Untungnya segera melipir ke kubikel Alit.

Sampai tadi pagi, ketika saya menyambangi Muti di Kandang Kambing, ia masih tampak shock. Trauma membekas. Bahkan pandangannya terlihat nanar. Jari kelingkingnya gemetar—ini kata Tata—pikirannya tak mampu mengingat apa yang sesungguhnya terjadi kemarin. Sekarang, saban melihat saya, Val, atau Chris, ia segera menyilangkan jari membentuk salib, sembari berharap menemukan pasak dan bawang putih.

Duuh, Muti… nasibmu, Nak!


Tuesday, February 12, 2008

Diary Emak Ayam I : Dan Mereka Begitu [Nggak] Lucu

Sesungguhnya, gue nggak pernah memimpikan punya suami dan anak. Tapi, lihatlah apa yang terjadi dengan hidup gue satu tahun belakangan ini.

Berkebalikan.

Gue punya satu orang suami yang bawel.
Sembilan orang anak yang bisa menjelma jadi iblis. Oh oke, tepatnya, sembilan ekor anak ayam yang suara ciap-ciap-nya lebih mirip dengungan tawon di kuping gue.

Mau tahu hal lainnya yang nggak menambah nilai dalam hidup gue?
They have one ‘opa’ yang juga nggak kalah berisiknya dengan mereka. Then I know, hanya ada dua orang yang harusnya bertanggung jawab atas bakat ‘berciap’ mereka yang overdosis itu.

Gue melupakan satu fakta yang mahapenting. Bokap dan opa mereka berasal dari satu garis keturunan langsung. Nggak ada yang perlu disalahkan. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. (Maaf, suamiku dan ayah mertua, bukan bermaksud kurang ajar. Saya hanya jujur :p).

[Not] my lovely husband
Suami gue—seingat gue, dia belum ngasih mas kawin ke gue—adalah seorang peranakan Tionghoa yang lupa dengan budaya aslinya. Maksud gue ‘lupa’ adalah he cannot talk in his language. Malahan bahasanya Betawi-nya kental banget.

Kalau resolusi 2008 gue adalah mencoba lebih sabar, maka resolusi 2008 dia adalah, menguji kesabaran orang yang belajar sabar. (sigh…). Selain itu, dia hobi menggigiti gue. Entahlah, mungkin giginya gatal. Dia juga nggak boleh lihat gue punya makanan berlebih. Selalu menginginkan apa pun yang gue makan. Belakangan gue berpikir, mungkin harusnya gue mengadu ke Komnas HAM atau Kontras untuk semua kekerasan yang ia lakukan baik secara fisik maupun mental. Iya, mental. Teror mentalnya bisa membuat kesabaran gue menipis. Kebawelan tingkat tingginya membuat Papa Je—did I say his name?—selalu mengomentari semua hal. Atau sekadar mencari celah untuk mencela-cela gue. Tentunya bersama anak-anak kami.

Gue masih mengingat dengan baik hal-hal yang dia lakukan selama tiga tahun mengarungi biduk rumah tangga Gagas. Kasus kecoak albino, kasus suara di balik kubikel, dan yang teranyar, kasus lemparan tissue basah. (Mau tahu cerita lengkapnya? baca : kandang Jeffri, Pengakuan Dosa Kecoak Albino).

My kids are [not] my nightmare
Anak gue—gue lupa kapan gue ngelahirin mereka—adalah segerombolan makhluk yang berwajah [sok] innocent. Mereka bisa menjelma menjadi mimpi buruk buat elo. Kalau sudah ngomong, berebutan. Saling mau duluan. Ukuran tubuh mereka cukup variatif. Yang cowok badannya gede-gede, yang cewek mungil-mungil (gue adalah satu-satunya yang berukuran medium di keluarga perayaman Gagas). Mulut mereka pedes-pedes, cynical, very hars in words—penghalusan dari kata sarkas. Bokapnya bilang itu turunan dari gue. Padahal, sungguh, gue hanya mengajarkan mereka untuk jujur saja.

Kalau sudah ada maunya, mereka sanggup meneror gue dengan semua keinginan mereka. Kalau sudah berkaitan dengan soal makanan, oh my ciap!, berkerumun sambil teriak dengan mulut penuh. ‘Aku mau ini!’, ‘Emak, Abang ngabisin semua!’, ‘Aku mau yang mana ya?’—selagi mikir mo ngambil yang mana, makanannya keburu diembat saudara yang lainnya. Lain ketika, ‘Kita makan di mana?’, dan jawabannya akan bergemuruh. ‘Mau yang enak!’, ‘Pokoknya makanan manusia’—makanan manusia versi mereka adalah yang mengandung makhluk hidup a.k.a daging-dagingan, ‘Jangan yang mahal’, ‘Siapa yang bakal traktir nih’. Dan masih banyak dengungan lainnya.

Kalau lagi dibawa ke toko buku, mereka dengan sigap menghilang. Datang-datang sudah dengan tumpukan buku di tangan. Kerjaan gue, mengecek daftar belanjaan buku mereka. Kadang, mereka malah udah punya list buku mana yang ingin dibeli dengan menghitung peluang untuk dapat harga diskon. Perjalanan tur ke toko buku atau pameran buku sepertinya sangat mereka nantikan. Tentu saja. Karena, untuk menuju toko buku, mereka akan melewati gerai-gerai yang ada di mall. And you knowwwwww, mereka masing-masing bisa nyangkut di tempat yang berbeda. Jadilah gue dari belakang harus bermata setajam elang mengawasi gerak mereka.

Suatu ketika, demi menjaga kreativitas otak mereka, para anak gue dan bokapnya minta rapat di luar. Jadilah hari itu gue memutuskan rapat keluarga di sebuah restoran dimsum dengan sistem buffet di PIM. Well, harusnya gue udah menduga apa yang akan menimpa hidup gue. Mereka lebih berkonsentrasi pada makanan dibanding rapat. End up-nya, gue ngomong sendiri, nyatet hasil rapat sendiri, sementara mereka—termasuk bokapnya—sibuk bertukar makanan. Again, I just took my breath, sigh….

Kekurangajaran mereka nggak berhenti sampai di situ. Mereka juga menjahili Sang Opa (Aduh, Ciaps, gue bisa dipecat jadi menantu karena dianggap gagal mendidik kalian). Suatu hari, tiga orang anak gue harus pergi ke Gedung Kesenian Jakarta demi menghadari sebuah undangan. Karena gue lagi ribet ama kerjaan gue, gue minta mereka pergi bersama Opa. Namun, karena si Opa juga nggak jelas mau pergi pukul berapa, jadilah tiga makhluk itu jalan duluan ke GKJ.

Karena permintaan Sang Opa, akhirnya gue nyusul mereka ke GKJ. Sampai di sana, gue langsung menelepon salah satu anak ayam itu. ‘Kita lagi makan di steak obong, Mak! Emak mau dipesenin apa?’ Tuh, lagi, harusnya gue sadar, mereka akan bergerak setelah perut mereka terisi. Akhirnya, gue dan Sang Opa menyusul ke sana. Tiga makhluk itu tampak menikmati makan malam mereka. Senyum mengembang di wajah mereka ketika melihat Opa datang. ‘Opa makan!’ sapa mereka ramah—oh, kenapa perasaan gue nggak enak lihat senyum yang mengembang di wajah mereka. Tapi, kecurigaan gue sirna. Mereka dengan baiknya bertanya, Sang Opa mau pesan apa.
‘Jus tomat,’ jawab Opa.
‘Bapak mau makan?’ tanya gue.
‘Nggak.’

Time was ticking. Kita semua harus segera menuju GKJ. Pas giliran bayar, Sang Opa Tereak, ‘Mbak, bill!’ Nah, inilah kali berikutnya kecemasan gue muncul. Senyum kekenyangan [or kemenangan, ya?] mengembang di wajah mereka waktu lihat Opa-nya ngeluarin duit buat bayar. Nggak ada upaya menahan. Bahkan mereka duduk manis menunggu Sang Opa membayar. Gue memelototin mereka. ‘Ayo, bilang makasih,’ bisik gue. Kompak mereka tereak, ‘Makasih, Opa!’, waktu si Opa selesai bayar. Aduuuuh, Gustiiii, siapa sih yang ngajarin???

Nggak cukup di situ aja. Waktu mau nyeberang. Mereka mulai berulah lagi. Lalu lintas emang padat. Kendaraan pada nggak mau kasih kesempatan buat kita nyeberang. Sang Opa sudah mengambil posisi paling pinggir. Namun, dasar turunan bawel, mereka pada tereak, ‘Opa…kita mau nyeberang pake zebra cross aja!’
‘Hah? Mana zebra cross-nya?’ tanya Sang Opa bijak.
‘Itu!!!!’ Tiga suara yang nggak jelas tingkatannya berkumandang.
‘Iya dah….’ Si Opa berbalik menuju jembatan penyeberangan. Melihat Opa-nya malah menuju jembatan penyeberangan, mereka tereak lagi. ‘Opa, kita mau pake zebra cross. Bukan jembatan penyeberangan.’
‘Mana sih?’ Suara si Opa mulai meningkat beberapa desibel.
‘Ituuuuu,’ tunjuk mereka. Si Opa pun berjalan ke zebra cross. Ketika si Opa sudah mencapai zebra cross, jalanan mulai lengang. Anak-anak ayam turunan iblis—artinya turunan gue ama bokapnya donk?—ini pun tampaknya berubah pikiran.
‘Opa, nggak jadi zebra cross. Dari sini aja. Udah sepi!!!!’ Dan mereka menyeberang duluan meninggalkan Opa-nya di belakang. Si Opa pun berlari menyeberang menyusul mereka yang tertawa-tawa.

Lagi, gue cuma bisa mengelus dada. Sigh…. Maafkan saya bapak mertua.

But yes, I am unperfect mother
Gue tahu, gue bukan emak yang sempurna buat mereka. Juga bukan istri yang manis buat suami gue. Apalagi menantu yang baik buat mertua gue.

Tapi, sungguh gue merasa cukup dengan semua yang gue miliki saat ini. Hari-hari buruk gue berjalan menyenangkan karena semua kelakuan ‘lucu’ sembilan anak gue, satu suami disfungsional gue, dan seorang Opa yang bisa dengan sabarnya melayani keinginan para cucu. Ini belum termasuk Om Ayam, Pak Dhe Ayam, Tante Ayam, dan Pak Lik Ayam mereka yang juga dengan sangat sabar—atau tak berdaya—mengikuti semua kemauan sembilan anak ayam tersebut.

Harus gue akui, gue bisa bertahan sampai hari ini karena gue punya mereka. Papa Je, Christo Bullier, Alit Unyil. Resitul ‘Ntul, Nyiz Embil, Wahyuto, Aneesy Pipi Merah, Valliant si Bandot, Deta Detul, dan Amel Imel. Guys, thanks for always cheer my days up!

Semoga mereka tahu, betapa gue sangat mencintai mereka. Secacat apa pun kelakuan mereka. We are not perfect family, rite? But, kayak kata Christo, kita cinta semua apa adanya, kok!