Thursday, February 21, 2008

Kisah Sebatang Cokelat : Sebuah Rasa Masa Kecil

Waktu kecil, saya suka sekali makan cokelat. Sangat suka sehingga setiap kali ada teman papa atau mama datang, atau siapa pun yang bertamu ke rumah, kerap membawakan saya oleh-oleh berupa cokelat.

Sebatang cokelat itu saja sudah membuat saya senang.

Saya ingat, cokelat kegemaran saya waktu itu adalah Van Houten. Saya tidak tahu dengan jelas, kenapa saya begitu kecanduan merek cokelat asal Negeri Kincir Angin itu. Padahal, kalau dibandingkan dengan cokelat yang saat ini beredar di pasaran, rasanya tak ada beda.

Van Houten polos tanpa kacang mete atau raisin atau almond. Hanya cokelat. Tak perlu banyak rasa. Sebulan sekali—selain mengandalkan buah tangan tamu yang bertandang—kakek saya selalu membawa saya ke Pasar Cinde, Palembang. Itu pasar tradisional terbesar di Palembang. Segalanya ada di situ. Alat tulis, mainan, dan makanan. Pusat aktivitas Kota Palembang, sebelum kemudian pasar yang lebih modern menenggelamkannya, menggantikannya dengan aktivitas yang tak perlu mengenal tanah becek karena hujan atau bau amis ikan dan daging yang menguar.

Pasar Cinde punya sejuta kenangan buat saya. Saban kakek saya pergi mengambil pensiunnya sebulan sekali, ia selalu mengajak saya ke pasar itu. Sebatang cokelat Van Houten polos, sekotak kue Holland, dan sepaket pensil warna atau alat tulis, akan berpindah ke tas saya.

Kakek saya seorang yang ramah. Tinggi, kurus, murah senyum, dan suka menyapa semua orang. Bahasa Inggrisnya lancar bukan main. Ke mana pun dia pergi, selalu ada kamus saku bahasa Inggris di kantongnya. Ia sering sekali mengajak saya bicara dalam bahasa Inggris. Waktu kecil, saya tak paham dia bicara apa. Dia selalu menuliskannya di buku catatan saya dengan pensil warna yang dibelikannya.

Karena kakek saya, saya suka mengamati hiruk pikuk pasar. Ia menggandeng tangan kecil saya. Mengajak saya menyusuri setiap lorongnya. Menunjuk ini dan itu, lalu akan bertanya, ‘Wendy, nak apo
[1]?’ Wendy. Ya. Wendy bukan Windy. Dialah satu-satunya orang yang memanggil saya seperti itu.

Dan saya akan memulai menunjuk, apa saja yang saya mau. Namun, belanjaan tetap yang akan selalu saya dapatkan tanpa perlu meminta adalah sebatang cokelat Van Houten dan sekotak roti Holland.

Kakek saya pun penggemar cokelat. Pulang dari pasar, dia akan duduk di kursi di teras rumah, membuka cokelat, dan membaca koran hari itu. Saya akan duduk di dekat kakinya, membuka cokelat, dan mengeluarkan buku gambar saya. Ia akan membacakan koran keras-keras agar saya mendengar. Saya akan sibuk menggambar. Biasanya gambar apa saja yang saya lihat di pasar hari itu. Selesai membaca koran, dia akan membuka kamus bahasa Inggris-nya lalu mulai membaca. Begitulah selalu. Tentunya, sambil kita berdua memakan cokelat.

Sebatang cokelat Van Houten polos selalu melemparkan saya ke masa kecil. Rasa kanak-kanak yang manis. Yang hangat. Terlebih lagi, yang membuat saya selalu terkenang pada sosok yang begitu lekat. Kakek saya.

Semua orang bilang saya mirip dia. Tinggi, kurus, berkulit cokelat, dan bermata cokelat. Suka makan manis, lebih memilih makan roti daripada nasi, penggemar cokelat dan permen. Tak suka obat. Tak suka pahit. Suka menggambar. Suka menulis di catatan harian. Saya rasa, kebiasaan saya membaca kamus pun keturunan dari dia.

Dan dia pandai bercerita. Selalu membuat saya tergelak-gelak dengan komentarnya. Bicaranya ceplas-ceplos. Tanpa tedeng aling-aling. Straight to the point. Suka bilang suka. Jelek bilang jelek. Kadang komentarnya juga sarkas. Tapi menurut saya, dia orang paling jujur di muka bumi ini. Saya sungguh memujanya.

Dialah juga yang memberi nama saya Windy. Tapi, dia pulalah satu-satunya orang yang memanggil saya ‘Wendy’. Lafalkan ‘i’ menjadi ‘e’ dalam konteks bahasa Inggris. Dia satu-satunya orang yang patuh pada aturan itu.

Saya merindukan cara dia memanggil nama saya. Selalu dilagukan.
‘Weeendy! Apo kato koran hari ini?’ tanyanya pada saya ketika saya sudah duduk di bangku kuliahan dan memutuskan setahun kuliah di Universitas Sriwijaya. Waktu bergulir. Dulu dia yang rajin membacakan koran untuk saya. Sekarang, tugas sayalah yang membacakan berita untuk dia. Tak ada yang berubah dengan kegemarannya yang lain. Ia masih suka mengambil buku sketsa saya, lalu ikut menggambar di situ.

Sampai kemudian ia jatuh sakit. Saya sudah tidak lagi berkuliah di Palembang. Sibuk mengejar ambisi sendiri. Berlari. Hari itu, saya memutuskan pulang ke Palembang untuk menjenguknya.

Dia tergeletak di ranjang rumah sakit. Tubuh kurusnya dibalut selimut. Jarum infus menikam urat di lengannya. Sama seperti dia, saya tak pernah suka bau rumah sakit. Saya rasa, dia pun tak pernah berharap masuk rumah sakit. Saya tahu dia tak betah. Ketika sadar saya datang mendekat, ia mengangkat tangannya. ‘Aaah, Wendy datang!’

‘Iya.’ Saya menjawab lirih sambil memegang tangannya. Meyakinkannya kalau saya memang ada di situ.
‘Naik apo kau? Dak kuliah?
[2]
‘Idak,
[3]’ jawab saya.
‘How are you, Wendy?’ tanya dengan logat Inggris yang sempurna.
‘Fine.’
‘I am fine, Wendy. Jangan disingkat.’ Koreksinya.
‘Yes, I am fine, Granpha.’
‘That’s good.’
Dia mengambil sesuatu dari balik kantongnya. Kamus saku bahasa Inggris. Sampulnya yang dulu berwarna merah sudah tak ada. Kertas yang dulu putih kini menguning. Usang. Seusang usianya dan umur saya yang meranjak matang.

‘Bacakan kamus ini untukku. Susternyo dak pacak
[4]diajak ngomong Inggris,’ pintanya.
Saya menerima kamusnya. Itu kamus yang sama dengan ketika saya masih kecil dulu. Bahkan, saya menemukan coretan tulisan saya yang masih jelek. Olehnya, tulisan itu dilingkari spidol merah dan diberi keterangan : ‘Tulisannya Wendy’.

Saya mengembuskan napas. Satu hari di masa kecil saya, dia meminta saya menulis tulisan dalam bahasa Inggris, ‘My name is Wendy’. Betapa dia dan saya terperangkap dalam kapsul waktu milik kami untuk sesaat.
‘Kau bawaken aku apo, Wendy, dari Jawo?
[5]’ Setelah setahun kuliah di Palembang, saya memutuskan pindah kuliah ke Universitas, Brawijaya, Malang.
‘Cokelat. Van Houten dan sekotak kue Holland. Yek nak makannyo
[6]?’
‘Cokelat bae. Tapi, kau sambil baco kamus terus yo?
[7]’ Saya mengangguk. Membuka bungkusan cokelat dan mengmabil kamus dari tangannya, lalu mulai membaca.

Siang itu, seharian saya habiskan di rumah sakit. Bertahan mencium bau rumah sakit yang tak saya suka dan bau obat yang keluar dari sekujur tubuh kakek saya. Entah, kapan, saya jatuh tertidur di samping tempat tidurnya. Dengan tangan telengkup menyanggah kepala saya. Ketika bangun, saya merasakan tangan kakek saya ada di kepala. Mengelus rambut saya. Dan, lirih saya dengar, suaranya yang terus membaca kamus dengan lafal terpatah-patah. Sepertinya, ia kesulitan bernapas.

Saya menyayangi dia. Buat saya, dia adalah orang yang berbagi begitu banyak kenangan dengan saya. Berbagi banyak hari. Berbagi banyak kemiripan. Berbagi banyak rahasia. Berbagi banyak luka.

Dan berbagi banyak cinta.

Sampai kemudian, ia meninggalkan saya. Ia meninggal dalam tidurnya. Bukan di rumah sakit. Tapi di rumah, di kamarnya sendiri. Kabar itu saya terima lewat telepon. Semua orang berhati-hati menyampaikannya kepada saya. Tapi, saya tak sekaget yang mereka duga. Jauh sebelum itu, ia telah berpamit pada saya. Berbisik pada saya bahwa ia harus ‘pulang’, namun bukan berarti menghilang. Ia hanya tak berada bersama saya lagi dalam satu dimensi waktu dan ruang. Ketika saya kangen padanya, ia menjelma jadi kenangan. Yang manis. Semanis cokelat Van Houten. Yang harum. Seharum bau roti Holland.

Namun, entah sejak kapan, saya tak lagi suka cokelat dan permen. Tak lagi gandrung roti Holland. Dan berhenti menggambar. Sebatang cokelat tak lagi bisa membuat saya tersenyum manis. Sekotak roti Holland tak bisa membuat saya tertawa lebar.

Sebatang cokelat tak lagi bisa membuat saya senang.

Hingga hari kemarin. Di sebuah kota yang kita sebut Jakarta.
Ketika saya sedang menyusuri lorong-lorong di sebuah pasar modern yang tak mengenal becek karena berlantai porselen. Saya berhenti di sebuah rak. Sebatang cokelat Van Houten tergeletak di situ. Hanya sebatang. Cokelat merek sejenis tampaknya habis. beberapa saat saya terdiam, sebelum kemudian memutuskan meraihnya. Menciuminya. Berharap, ada aroma Van Houten yang saya kenal ketika masih kecil. Sekejap, semua kisah itu menyeruak. Wajah kakek saya terbayang di benak. Senyum lebarnya dan suara khasnya ketika memanggil nama saya, “Weendy!’ seolah berdengung.

Sebuah rasa masa kecil.
Hangat.
Penuh cinta.

Dan saya berdiri tercenung sambil tersenyum di depan rak itu. Sibuk menciumi sesuatu. Saya terkenang pada perasaan senang karena sebatang cokelat Van Houten.

Dan saya ingin berbagi. Berbagi rasa itu.
Refleks saya mengambil sembilan cokelat merek lainnya. Bukan merek Van Houten karena hanya tersisa satu. Sembilan cokelat tak polos, ada campuran kacang dan raisin. Maksud hati, ingin membelikan dark chocolate untuk mereka. Sayang, ternyata, harga cokelat hitam lebih mahal dari cokelat biasa. Padahal, konon rasa cokelat hitam lebih pahit. Namun, untuk alasan kesehatan cokelat ini lebih baik.

Saya tersenyum kecil. Kali ini bukan karena cokelat. Tapi karena teringat dengan ledekan para anak ayam. Mereka suka mengistilahkan saya sebagai dark chocolate. Orang yang nggak punya sisi manis. Nggak selembut marshmallow. Lalu, kalau memang dark chocolate nggak selezat dan selembut itu kenapa harganya lebih mahal?

Saya lantas sok berfilosofis. Jadi filsuf yang membahas tentang rasa pahit pada dark chocolate. Well, ibaratkanlah ini sebuah kehidupan. mungkin, karena sebuah kepahitan, seorang jadi bisa menghargai rasa manis. Untuk bisa merasa bahagia, ia harus melampaui apa yang disebut sedih dan kesakitan itu sendiri. Karena itulah ia menjadi orang yang tahu apa itu bahagia. Tahu apa itu cinta. Tahu apa itu kehilangan. Tahu, bahwa semua rasa ‘pahit’ itulah yang meninggalkan manis di ujung lidah. Selalu ada harga untuk segala sesuatu. Dan itu yang paling mahal : proses.

Saya hanya ingin membagi rasa cinta yang saya kenal kepada sembilan orang kawan saya di GagasMedia. Orang-orang yang belakangan ini sangat saya sadari, memerhatikan saya. Berusaha memahami saya. Namun, kerap kali saya kecewakan dengan sikap acuh saya. Mungkin, justru saya yang tak mengizinkan mereka mengenal saya. Mungkin, bukan saya yang tak punya ruang, namun saya yang enggan membuka ruang. Di bungkus cokelat itu, saya tempelkan sebuah pesan untuk mereka : ‘Ternyata harga dark chocolate lebih mahal….-13’

Lewat cokelat beserta pesan itulah saya ingin membagi apa yang saya rasakan dengan mereka. Membiarkan mereka bertandang ke teras hati saya. Melihat dan mencicipi cinta a la saya. Tak mewah. Kecil dan sederhana saja. Rasa cinta yang begitu abadi, antara saya dengan seorang. Sebuah rasa dari masa kecil saya. Tentang dia. Seorang lelaki yang saya panggil, ‘Yek
[8]’.

Dan mungkin, itu pula rasa cinta saya kepada mereka.
Tak besar. Kecil saja. Tapi abadi. Seperti kuku jari. Selalu tumbuh.

---



[1] ‘Wendy, mau apa?’—bahasa Palembang.
[2] ‘Naik apa kamu? Tidak kuliah?’
[3] ‘Tidak.’
[4] ‘…Susternya tidak bisa….’
[5] ‘Kau bawakan aku apa, Wendy, dari Jawa?’
[6] ‘…Yek mau makannya?’ Yek adalah panggilan saya untuk kakek saya.
[7] ‘Cokelat saja. Tapi, kamu sambil terus bacakan kamusnya, ya?’
[8] ‘Kakek.

Friday, February 15, 2008

Diary Emak Ayam 2 : Sodomi Massal

Sebutlah hari yang kemarin saya lalui sebagai: Hari Sodomi Massal.
Hahaha.
Apa iya?

Tapi, memang begitulah yang terjadi.
Entah ada apa dengan Valiant si Om Bandot dan Christian bin Bullier, pasangan Kulkas Dua Pintu—julukan Muti (Bukune) untuk pria-pria berbadan besar ini—hari itu. Mereka tampak begitu liar dan tak terkendali. Mirip monyet kalo lagi horny. Atau mungkin, mereka merasa superior dari sisi fisik sehingga tindakan bully mereka pun semakin merajalela. Menindas yang kecil, melibas yang mungil.

Seharusnya, saya sudah bisa mencium gelagat ini sejak seminggu yang lalu. Tepat hari pertama saya memungut Val sebagai Anak Ayam kesembilan. Atau, sebutlah, saya sudah tertipu dengan wajahnya yang se-chubby bayi raksasa, padahal sungguh dia sepahit empedu. (hallah….)

Kemalangan menimpa satu per satu anak ayam, dan merembet ke para anak kambing—julukan saya untuk teman-teman Bukune. Ceritanya, sore itu saya sehabis mengantarkan para anak kambing ke Planet Hollywood. Ada launching buku terbaru mereka. Jadilah, saya meninggalkan para anak ayam bersama papa mereka. Agak waswas juga. Karena di siang harinya, berdasarkan laporan Alit dan Resita, sebelum saya pergi pun Val sudah melakukan tindakan tanpa mengindahkan ukuran tubuh kepada si Resita. Ia mengangkat-ngangkat Resita. Lalu, sengaja membawa-bawa gunting berupaya memotong rambut si gadis bermata sipit itu. Sebelumnya, Val tertangkap basah sedang melakukan upaya pemotongan buntut rambut saya yang sudah mencapai punggung.

Saya percaya dengan cerita Alit dan Resita. Karena bukti-bukti yang menunjukkan duo gerombolan si berat ini demen melakukan tindakan kekerasan cukup banyak. Saya termasuk yang kerap menjadi korban. Contohnya, ketika saya berpas-pasan dengan Val dan Christ di pintu masuk kantor, tiba-tiba kedua orang ini menyeret saya sambail berlari dan melempar saya masuk ke dalam mobil panther hijau Val. ‘Ini penculikan!’ teriak mereka. ‘Cepat masuk!’ Suara Christo bikin telinga saya pekak. Dan mereka memaksa saya memakai topi cina yang dibeli Val ketika kami mengunjungi sebuah pameran buku di Bandung. Sungguh perbuatan yang kurang pas. Topi cina tidak pantas di kepala saya, mengingat kepala saya kecil dan kulit saya cokelat. Harusnya, mereka memasang topi bulu-bulu suku Indian. Itu baru cocok.

Sungguh, saya tak paham. Ada apa dengan kedua makhluk itu. Mereka yang sudah tak lucu itu berubah jadi momok bagi saudara-saudaranya. Saya rasa, saya butuh obat penjikan untuk jenis binatang menjelang masa kawin atau jam-jam horny-nya.

Saya mulai berpikir, mungkin mereka menegak dopping sebelum berangkat kerja, dan dosisnya terlalu tinggi sehingga hiperaktif. Tapi, kecurigaan saya tampaknya tak beralasan. Menjelang deadline atau ketika mendekati makan siang, kelakuan mereka akan semakin beringas. Atau mereka mengosumsi obat perangsang melebihi takaran? Begitu pikir saya lugu. Sayang, kelakuan mereka sepertinya bukan tanda-tanda overdosis, deh.

Dan, malapetaka itu terus berlanjut hingga sore menjelang.
Saya baru pulang dari Planet Hollywood. Masuk ke kandang Gagas dengan ceria. Selayaknya seorang emak yang meninggalkan anak-anaknya, saya kangen ingin berjumpa wajah mereka dan mendengar celoteh nyaring mereka. Namun, keinginan itu luluh lantak seketika. Ketika saya sedang bicara berhadap-hadapan dengan Alit, Val dan Christ dengan sengaja menjepit kami. Menggencet kami di antara besar tubuh dan timbunan lemak perut mereka. Rasanya seperti ditindih dua mahmot zaman es. Ugh.

Melihat saya dan Alit tak berdaya, rupanya mereka ingin ekspansi mencari korban lain. Rizal (Bukune)—well, FYI, GagasMedia itu selain penerbitan, kandang ayam, juga membuka jasa toilet umum—datang buat pipis. Mereka dengan wajah manis pun menyambut. Rizal nggak curiga. Tengah enak dia berjalan menuju surga untuk buang hajat, Christo dan Val kembali melancarkan serangan. Tapi kali ini, saya juga terjepit di tengah-tengah mereka bertiga. Kalau yang pertama terasa empuk meski berat—mengingat alit, Christ, dan Val termasuk dalam suku perut buncit—yang kali ini terasa membentur tulang dan sakit. Ya iya lah, Rizal dan saya sama-sama terdiri dari susunan tulang yang dibalut minim lemak.

Masih dengan menyisakan tawa di ujung, tiba-tiba Muti datang. Sama kayak Rizal, dia pengen uang hajat: boker. Mukanya sih polos nggak curiga. Val dengan manis dan ramahnya mempersilakan Muti menggunakan kamar mandi. Ketika Muti hendak menuju toilet, kami bertiga (saya, Val, Christ) segera menyerang Muti. Menghimpitnya, menggenjetnya, dan membuatnya penyet! Namun, selalu sial bagi saya, saya selalu keplenet. Kali ini kepala saya dan Muti berbenturan cukup keras. Saya pusing. Muti puyeng. Kami jatuh bersamaan. Dua makhluk raksasa itu tertawa terbahak-bahak. Muti mendadak nggak pengen boker—semuanya masuk lagi ke dalam. Kepala saya masih cenut-cenut. Di antara sisa kesadarannya, Muti berlari kembali ke kandang Kambing. Berteriak memanggil Tata, memeluknya, dan menumpahkan segala petaka yang di hadapinya ke dada Tata yang nggak bidang.

Tata, dengan dada terbusung dan wajah yang distel sebagai sosok pelindung, kembali mengantarkan Muti ke ruangan Gagas untuk boker. Sebenarnya, segala upaya Tata untuk terlihat sangar sangatlah percuma. Ibarat pepatah, bagai menepuk angin. Christ dan Val secara wajah dan fisik jauh lebih besar dan sangar jika dibandingkan dengan Tata.

‘Kalian ngapain Muti?’
‘Nggak. Kita cuma ngajak dia main,’ jawab Val sok lugu.
‘Nggak mungkin. Muti sampai trauma.’ Tata defensif. Kali ini dia berjalan mendekati meja Resita yang udah kosong. Muti ngekor di belakangnya. Saya berdiri di dekat kubikal Alit yang posisinya di sebelah kubikal Resita. Christ berdiri di belakang Muti. Val di samping Tata yang sedang berupaya tampak seperti juru selamat.

‘Nggak Mba Tati—panggilan Muti pada Tata—mereka menggenjetku!’ teriak Muti. ‘Kulkas dua pintu itu membuat aku trauma!’
“Masak sih…!!!!’ teriak Val dan Christ berbarengan. Entah, siapa yang mengomando, Val dan Christ bersamaan berlari ke arah Muti dan kembali menggenjetnya. Tata yang melihat Val berlari ke arahnya refleks menyelamatkan diri. Ia melompat dengan gesit, dan sembunyi ke dalam kubikel Val yang ada di depan kubikel Resita. Saya juga heran, betapa dalam kondisi terjepit, Tata bisa meloloskan diri selicin belut. Padahal, dia kan spesies kuda nil?

Muti?
Well well well. Nasib Muti memang apes. Memilih pelindung yang jago meloloskan diri sendiri. Sebenarnya, Muti sudah melakukan upaya penyelamatan, namun ia salah langkah. Kalau Tata segera berlari dan melompat ke samping. Muti justru mundur ke belakang dan menabrak Christ. Ia seperti menyerahkan diri ke mulut beruang. Valiant pun datang menyerang. Dan Brukkkk…

Kembali Muti menjadi korban. Dan mengalami trauma yang berkepanjangan.

Saya?
Untungnya segera melipir ke kubikel Alit.

Sampai tadi pagi, ketika saya menyambangi Muti di Kandang Kambing, ia masih tampak shock. Trauma membekas. Bahkan pandangannya terlihat nanar. Jari kelingkingnya gemetar—ini kata Tata—pikirannya tak mampu mengingat apa yang sesungguhnya terjadi kemarin. Sekarang, saban melihat saya, Val, atau Chris, ia segera menyilangkan jari membentuk salib, sembari berharap menemukan pasak dan bawang putih.

Duuh, Muti… nasibmu, Nak!


Tuesday, February 12, 2008

Diary Emak Ayam I : Dan Mereka Begitu [Nggak] Lucu

Sesungguhnya, gue nggak pernah memimpikan punya suami dan anak. Tapi, lihatlah apa yang terjadi dengan hidup gue satu tahun belakangan ini.

Berkebalikan.

Gue punya satu orang suami yang bawel.
Sembilan orang anak yang bisa menjelma jadi iblis. Oh oke, tepatnya, sembilan ekor anak ayam yang suara ciap-ciap-nya lebih mirip dengungan tawon di kuping gue.

Mau tahu hal lainnya yang nggak menambah nilai dalam hidup gue?
They have one ‘opa’ yang juga nggak kalah berisiknya dengan mereka. Then I know, hanya ada dua orang yang harusnya bertanggung jawab atas bakat ‘berciap’ mereka yang overdosis itu.

Gue melupakan satu fakta yang mahapenting. Bokap dan opa mereka berasal dari satu garis keturunan langsung. Nggak ada yang perlu disalahkan. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. (Maaf, suamiku dan ayah mertua, bukan bermaksud kurang ajar. Saya hanya jujur :p).

[Not] my lovely husband
Suami gue—seingat gue, dia belum ngasih mas kawin ke gue—adalah seorang peranakan Tionghoa yang lupa dengan budaya aslinya. Maksud gue ‘lupa’ adalah he cannot talk in his language. Malahan bahasanya Betawi-nya kental banget.

Kalau resolusi 2008 gue adalah mencoba lebih sabar, maka resolusi 2008 dia adalah, menguji kesabaran orang yang belajar sabar. (sigh…). Selain itu, dia hobi menggigiti gue. Entahlah, mungkin giginya gatal. Dia juga nggak boleh lihat gue punya makanan berlebih. Selalu menginginkan apa pun yang gue makan. Belakangan gue berpikir, mungkin harusnya gue mengadu ke Komnas HAM atau Kontras untuk semua kekerasan yang ia lakukan baik secara fisik maupun mental. Iya, mental. Teror mentalnya bisa membuat kesabaran gue menipis. Kebawelan tingkat tingginya membuat Papa Je—did I say his name?—selalu mengomentari semua hal. Atau sekadar mencari celah untuk mencela-cela gue. Tentunya bersama anak-anak kami.

Gue masih mengingat dengan baik hal-hal yang dia lakukan selama tiga tahun mengarungi biduk rumah tangga Gagas. Kasus kecoak albino, kasus suara di balik kubikel, dan yang teranyar, kasus lemparan tissue basah. (Mau tahu cerita lengkapnya? baca : kandang Jeffri, Pengakuan Dosa Kecoak Albino).

My kids are [not] my nightmare
Anak gue—gue lupa kapan gue ngelahirin mereka—adalah segerombolan makhluk yang berwajah [sok] innocent. Mereka bisa menjelma menjadi mimpi buruk buat elo. Kalau sudah ngomong, berebutan. Saling mau duluan. Ukuran tubuh mereka cukup variatif. Yang cowok badannya gede-gede, yang cewek mungil-mungil (gue adalah satu-satunya yang berukuran medium di keluarga perayaman Gagas). Mulut mereka pedes-pedes, cynical, very hars in words—penghalusan dari kata sarkas. Bokapnya bilang itu turunan dari gue. Padahal, sungguh, gue hanya mengajarkan mereka untuk jujur saja.

Kalau sudah ada maunya, mereka sanggup meneror gue dengan semua keinginan mereka. Kalau sudah berkaitan dengan soal makanan, oh my ciap!, berkerumun sambil teriak dengan mulut penuh. ‘Aku mau ini!’, ‘Emak, Abang ngabisin semua!’, ‘Aku mau yang mana ya?’—selagi mikir mo ngambil yang mana, makanannya keburu diembat saudara yang lainnya. Lain ketika, ‘Kita makan di mana?’, dan jawabannya akan bergemuruh. ‘Mau yang enak!’, ‘Pokoknya makanan manusia’—makanan manusia versi mereka adalah yang mengandung makhluk hidup a.k.a daging-dagingan, ‘Jangan yang mahal’, ‘Siapa yang bakal traktir nih’. Dan masih banyak dengungan lainnya.

Kalau lagi dibawa ke toko buku, mereka dengan sigap menghilang. Datang-datang sudah dengan tumpukan buku di tangan. Kerjaan gue, mengecek daftar belanjaan buku mereka. Kadang, mereka malah udah punya list buku mana yang ingin dibeli dengan menghitung peluang untuk dapat harga diskon. Perjalanan tur ke toko buku atau pameran buku sepertinya sangat mereka nantikan. Tentu saja. Karena, untuk menuju toko buku, mereka akan melewati gerai-gerai yang ada di mall. And you knowwwwww, mereka masing-masing bisa nyangkut di tempat yang berbeda. Jadilah gue dari belakang harus bermata setajam elang mengawasi gerak mereka.

Suatu ketika, demi menjaga kreativitas otak mereka, para anak gue dan bokapnya minta rapat di luar. Jadilah hari itu gue memutuskan rapat keluarga di sebuah restoran dimsum dengan sistem buffet di PIM. Well, harusnya gue udah menduga apa yang akan menimpa hidup gue. Mereka lebih berkonsentrasi pada makanan dibanding rapat. End up-nya, gue ngomong sendiri, nyatet hasil rapat sendiri, sementara mereka—termasuk bokapnya—sibuk bertukar makanan. Again, I just took my breath, sigh….

Kekurangajaran mereka nggak berhenti sampai di situ. Mereka juga menjahili Sang Opa (Aduh, Ciaps, gue bisa dipecat jadi menantu karena dianggap gagal mendidik kalian). Suatu hari, tiga orang anak gue harus pergi ke Gedung Kesenian Jakarta demi menghadari sebuah undangan. Karena gue lagi ribet ama kerjaan gue, gue minta mereka pergi bersama Opa. Namun, karena si Opa juga nggak jelas mau pergi pukul berapa, jadilah tiga makhluk itu jalan duluan ke GKJ.

Karena permintaan Sang Opa, akhirnya gue nyusul mereka ke GKJ. Sampai di sana, gue langsung menelepon salah satu anak ayam itu. ‘Kita lagi makan di steak obong, Mak! Emak mau dipesenin apa?’ Tuh, lagi, harusnya gue sadar, mereka akan bergerak setelah perut mereka terisi. Akhirnya, gue dan Sang Opa menyusul ke sana. Tiga makhluk itu tampak menikmati makan malam mereka. Senyum mengembang di wajah mereka ketika melihat Opa datang. ‘Opa makan!’ sapa mereka ramah—oh, kenapa perasaan gue nggak enak lihat senyum yang mengembang di wajah mereka. Tapi, kecurigaan gue sirna. Mereka dengan baiknya bertanya, Sang Opa mau pesan apa.
‘Jus tomat,’ jawab Opa.
‘Bapak mau makan?’ tanya gue.
‘Nggak.’

Time was ticking. Kita semua harus segera menuju GKJ. Pas giliran bayar, Sang Opa Tereak, ‘Mbak, bill!’ Nah, inilah kali berikutnya kecemasan gue muncul. Senyum kekenyangan [or kemenangan, ya?] mengembang di wajah mereka waktu lihat Opa-nya ngeluarin duit buat bayar. Nggak ada upaya menahan. Bahkan mereka duduk manis menunggu Sang Opa membayar. Gue memelototin mereka. ‘Ayo, bilang makasih,’ bisik gue. Kompak mereka tereak, ‘Makasih, Opa!’, waktu si Opa selesai bayar. Aduuuuh, Gustiiii, siapa sih yang ngajarin???

Nggak cukup di situ aja. Waktu mau nyeberang. Mereka mulai berulah lagi. Lalu lintas emang padat. Kendaraan pada nggak mau kasih kesempatan buat kita nyeberang. Sang Opa sudah mengambil posisi paling pinggir. Namun, dasar turunan bawel, mereka pada tereak, ‘Opa…kita mau nyeberang pake zebra cross aja!’
‘Hah? Mana zebra cross-nya?’ tanya Sang Opa bijak.
‘Itu!!!!’ Tiga suara yang nggak jelas tingkatannya berkumandang.
‘Iya dah….’ Si Opa berbalik menuju jembatan penyeberangan. Melihat Opa-nya malah menuju jembatan penyeberangan, mereka tereak lagi. ‘Opa, kita mau pake zebra cross. Bukan jembatan penyeberangan.’
‘Mana sih?’ Suara si Opa mulai meningkat beberapa desibel.
‘Ituuuuu,’ tunjuk mereka. Si Opa pun berjalan ke zebra cross. Ketika si Opa sudah mencapai zebra cross, jalanan mulai lengang. Anak-anak ayam turunan iblis—artinya turunan gue ama bokapnya donk?—ini pun tampaknya berubah pikiran.
‘Opa, nggak jadi zebra cross. Dari sini aja. Udah sepi!!!!’ Dan mereka menyeberang duluan meninggalkan Opa-nya di belakang. Si Opa pun berlari menyeberang menyusul mereka yang tertawa-tawa.

Lagi, gue cuma bisa mengelus dada. Sigh…. Maafkan saya bapak mertua.

But yes, I am unperfect mother
Gue tahu, gue bukan emak yang sempurna buat mereka. Juga bukan istri yang manis buat suami gue. Apalagi menantu yang baik buat mertua gue.

Tapi, sungguh gue merasa cukup dengan semua yang gue miliki saat ini. Hari-hari buruk gue berjalan menyenangkan karena semua kelakuan ‘lucu’ sembilan anak gue, satu suami disfungsional gue, dan seorang Opa yang bisa dengan sabarnya melayani keinginan para cucu. Ini belum termasuk Om Ayam, Pak Dhe Ayam, Tante Ayam, dan Pak Lik Ayam mereka yang juga dengan sangat sabar—atau tak berdaya—mengikuti semua kemauan sembilan anak ayam tersebut.

Harus gue akui, gue bisa bertahan sampai hari ini karena gue punya mereka. Papa Je, Christo Bullier, Alit Unyil. Resitul ‘Ntul, Nyiz Embil, Wahyuto, Aneesy Pipi Merah, Valliant si Bandot, Deta Detul, dan Amel Imel. Guys, thanks for always cheer my days up!

Semoga mereka tahu, betapa gue sangat mencintai mereka. Secacat apa pun kelakuan mereka. We are not perfect family, rite? But, kayak kata Christo, kita cinta semua apa adanya, kok!