Saturday, August 22, 2009

Tua

sini,
jangan jauh-jauh.
akan kuceritakan kepadamu
tentang dunia yang menua
dan senja yang mulai kehilangan merahnya.














courtesy: gettyimages.com



Thursday, July 16, 2009

Sorry

I took my pills last night,
then, I slept so deep.
I was sorry, sweetheart,
but, there were no you in my sleep.


Monday, June 1, 2009

22 : Akhirnya. *)

Apakah kalian pernah melewati satu fase di mana kalian memulai sesuatu tanpa merencanakan akhirnya?

Atau merancang sebuah cerita tanpa pernah tahu seperti apa penutupnya?

Aku pernah.
Dan sayangnya, aku terlalu menikmati jalan ceritanya. Aku lupa, semua cerita harus memiliki muara. Seperti air sungai yang berkumpul di samudera.

Jangan anggap ini sebagai sebuah nasihat atau cerita bijak. Percayalah tidak ada yang bisa diambil dari cerita ini. It’s just a story of mine. And one of my stories is over now.

The story of my blue horizon turns into history.

***

Kau boleh percaya. Kalaupun tidak, juga tak apa. Ketika aku menuliskan ini, mendadak hujan turun. Bahkan tanpa rintik di awal. Gelegar petir menyambar, membuat kaca di Black Canyon sedikit bergetar.

Aku masih di sana, di tepi jendela. Getaran kaca menyadarkan aku kepada sesuatu. Refleks aku menoleh ke luar. Langit di atas sana tak lagi biru. Ia telah berubah kelabu.

Aku hanya ingin kau tahu. Hatiku tidak berubah menjadi abu. Pesan yang kau tinggalkan di salah satu account jaringan sosialku memang cukup membuat termangu. Setelah lama tak bertukar kabar, mendapati namamu ada di dalam inbox cukup membuatku berdebar.

To be honest, I already predicted what it was.
This was about the ending of our story.

Percayalah, aku tidak terkejut.
Oh, sedikit kehilangan. Tentu saja.

Dan ini yang justru lebih mengejutkan aku. Merasa kehilangan.

***

22 Januari 2009, pesan itu masuk ke inbox Friendsterku.

Dari namanya saja aku sudah tahu. Engkaulah biru itu. Entah apa yang mendorongku untuk menunda membuka pesanmu.
Ini berbeda dari biasanya. Dulu, setiap kali mendapati namamu di inbox e-mail atau Friendster, aku selalu bergegas membukanya. Seharian, aku bisa tersenyum. Padahal, itu hanya e-mail singkat yang terkadang sekadar penanda kalau kita masih saling mengingat.

Entah mengapa hari ini aku tak ingin tergesa. Judul pesanmu pun sebenarnya tampak netral. Tak mengindikasikan apa pun. Hanya saja, sebuah suara yang berbisik halus di balik telinga, membuatku menunda membukanya. Ini terdengar tidak logis untuk orang yang realistis. Tapi, satu ketika kamu harus memercayai intuisi.

Ia memberitahumu sesuatu yang segera akan kauhadapi.

Dan dugaanku benar. Intuisi tidak pernah bisa diabaikan. Berteman baiklah. Sebab kenyataan akan menyusup diam-diam, menjelma firasat yang memberikan tanda untukmu dari balik sebuah kenyataan.

Apa yang disisakannya untukmu?
Kenangan.

Itu tak akan bisa kauhilangkan dari ingatan, sekalipun kau ingin menguburnya. Serapat apa pun.

Aku ingin mengingatnya sebagai sebuah cerita yang layak kita bayangkan, bisa sambil tersenyum, bisa juga sambil menghela napas. Bahkan mungkin suata saat, kita akan tergelak mengingat kebodohan-kebodohan yang kita lakukan.

Tak ada yang salah. Dan seperti yang kautuliskan. Sebagian dari kenangan itu sebaiknya memang tetap tersembunyi. Menjadi obrolan imajiner kita di meja makan.


…. I'm gonna let this story remain hidden deep inside. And remembering what happened on the night before you leave, inside the maroon red ***** skylark. Some memories are best kept hidden.

Tidak ada yang perlu berubah, selain mengingat semuanya sebagai sebuah cerita yang harus kita kenang dalam diam.

***

Angka 22 tak pernah istimewa buatku. Dan tiba-tiba dua angka kembar ini menjadi penanda yang cukup menarik untuk sebuah ucapan selamat menciptakan cerita baru.

Instead of goodbye sign, this number turns into a sign to say ‘Welcome to the new story of our life.’

Tak ada ucapan selamat tinggal yang perlu diucapkan. Karena tak ada yang benar-benar kita tinggalkan. Kau dan aku hanya berpindah ke cerita lain.

Dan ini yang mungkin membuat aku merasa kehilangan. Cerita kita sudah tak lagi berjalan pada plot yang sama.

Aku dan kau tak lagi berada dalam satu cerita.

***

Kata orang, ada terlalu banyak kebetulan dalam hidup. Tapi menurutku, ini bukan kebetulan. Segala sesuatunya sudah terencana. Ini pertanda. Alam memberi isyarat, dan kita membacanya. Hanya terkadang, kita tak pandai memberi makna.

Hujan berhenti ketika tulisan ini selesai.
Perlahan langit kembali biru.

Yep, some memories are best kept hidden.
I agree with you.

22 Maret 2009, aku mengirimkan pesan balasan untukmu tanpa berharap akan menerima balasan.


Black Canyon, 22 Maret 2009
Dan hujan pun reda di luar sana.

*) Ini cerita terakhir saya tentang ‘Biru’. Seharusnya diposting tanggal 22 April 2009 lalu, namun saya mengurungkannya.

Sunday, October 26, 2008

Cantik

INILAH siklus kehidupan.

Yang tua akan digantikan yang muda. Begitulah, satu-satu, daun yang berrguguran akan digantikan pucuk-pucuk daun muda. Termasuk dalam urusan tampil menarik.

Entahlah. Semakin uzur seseorang, ia semakin tak punya hak untuk tampil menarik. Saya tegaskan. Ini bukan teori mutakir abad 21, Kawan. Bukan. Ini teori yang bergerak mengikuti siklus hidup manusia atas nama kepantasan dan kelaziman. Dan sayangnya, kepantasan dan kelaziman untuk tampil cantik dan atau menarik hanya milik kaum muda. Semakin lama kita hidup maka semakin berkurang hak kita untuk tampil menarik.

Kadang, bukan kita yang sengaja meletakkan hak untuk tampil menarik seiring dengan usia. Namun, pilihan yang diberikan untuk mereka yang semakin tua tak lagi banyak. Bukan kita yang tanpa sadar menguranginya, namun pilihannya memang tak lagi variatif.

Apa memang harus begitu. Atau, kita saja yang selalu mengidentikan cantik dan menarik hanya untuk mereka yang masih muda. Mereka yang sudah tua? No way, silakan minggir! Toh, Anda sudah menikmati hidup lebih lama!

***

‘ANAK saya bilang, “Mami sudah uzur. Kenapa juga masih ke salon?”.’

Perempuan itu memegang rambut bagian sampingnya yang sudah di-blow ulang. Mematut bayangan dirinya. Rambutnya di-blow tinggi, menutupi kulit kepalanya yang terlihat karena rambut yang semakin jarang. Untuk usianya yang sudah 70 tahun, harusnya rambut miliknya berwarna putih. Namun, berkat penemuan pewarna rambut dan hasil perawatan salon langganannya ini, ia tetap memiliki warna hitam rambutnya.

Pegawai salon tertawa. ‘Lalu, Tante bilang apa?’

‘Saya bilang, kita perempuan ini serba salah. Kalau kita tidak merawat diri, kita jadi kurang menarik. Kalo kita tidak menarik, orang bilang kita tidak pandai mengurus diri. Tapi, kalau kita sudah tua, dan tetap ingin merawat diri, orang bertanya, buat apa dan terkesan ada-ada saja.’

Ia menatap lurus ke arah cermin. Di kaca cermin itu, ia seperti bicara kepada dirinya sendiri. Menyadari bahwa hidup terus berjalan, dan usianya terus bertambah. Garis-garis di wajahnya semakin banyak. Bedak setebal apa pun tak akan bisa menutupi keriput itu. Lipstik semerah apa pun tak akan bisa mengembalikan warna asli pada bibir yang semakin pias. Bahkan, perawatan rambut yang kerap dilakukannya seminggu sekali tak akan mampu menambah ketebalan dan mengembalikan warna asli rambutnya secara alami. Waktu memang tak akan pernah bisa berbohong. Dan ia sadar, ia juga tak akan bisa mengelabui sang waktu.

***

SAYA tercenung mendengar pembicaraan yang terjadi di belakang punggung saya. Lewat cermin di depan, saya bisa melihat apa yang terjadi di belakang punggung. Nyonya si pemiliki salon yang tengah memotong rambut saya sepertinya sadar kalau saya menyimak penuh percakapan yang terjadi.

‘Tante itu, walau sudah tua tetap rajin ke salon,’ terangnya. Saya pun manggut-manggut. Rutinitas ke salon perempuan itu sudah saya curi dengar ketika baru akan melangkah duduk di kursi saya.

‘Tante akan merayakan ulang tahun perkawinannya di mana?’ Pegawai salon kembali bertanya kepada perempuan itu.

‘Anak saya akan menjemput saya. Saya tidak tahu ke mana mereka akan membawa saya dan suami. Mereka hanya meminta saya untuk siap-siap. Saya hanya ingin tampil cantik di hari ulang tahun perkawinan saya.’

Tante Pemilik Salon memandang saya dari kaca. ‘Dia suka lupa apa yang dia bicarakan. Tadi dia menceritakan hal yang sama ketika saya memotong rambutnya,’ kata Tante Pemilik Salon dengan nada suara yang rendah. Mungkin, ia khawatir ucapannya didengar si perempuan itu. ‘Dia suka bercerita apa saja kepada semua pegawai di sini. Tapi, dia sering lupa kepada siapa dia bercerita dan apa yang diceritakan.’

Saya tersenyum. Itu bukan hal yang konyol untuk saya. Kadang, seseorang butuh menceritakan suatu kisah berkali-kali kepada orang yang sama untuk meyakinkan, tak ada yang terlewatkan. Bisa jadi karena ia senang mengingat hal yang terjadi ketika menceritakannya. O, ya, tentu saja itu terkadang terdengar membosankan dan melelahkan untuk orang yang diberi cerita.

‘Tidak ada yang salah kan kalau perempuan tua seperti saya rajin ke salon?’ Pertanyaan tiba-tiba itu membuat pegawai salon, Tante Pemilik Salon, dan saya yang mencuri dengar terdiam.

‘Entahlah, saya merasa, orang selalu merasa kalau perempuan tua ke salon itu aneh. Padahal, saya hanya ingin menyenangkan diri saya, juga suami saya,’ lanjutnya tanpa menunggu jawaban dari siapa pun.

Diam-diam saya mengamini ucapannya. Dia benar. Entah, mungkin tak banyak yang sadar, kadang, ketika kita bertemu perempuan tua yang berdandan, kita melabelkannya nenek genit. Menganggap tak pantas lagi orang yang sudah berumur berdandan neko-neko.

Saya teringat kejadian sebelum saya masuk ke salon. Mobil saya harus menunggu untuk parkir karena ada mobil lain yang melintang di area parkir. Saya penasaran. Lama sekali pemilik mobil ini keluar. Perlahan, pintu mobil terbuka. Saya menduga yang bakal keluar adalah ibu-ibu pejabat atau seorang perempuan muda yang lelet dan manja habis. Oh, oke, beginilah sinisnya saya menanggapi ibu-ibu bersasak tinggi dan perempuan-perempuan muda yang tak bisa bergerak cepat karena kemayu. Dan salon, sayangnya, sering dipenuhi perempuan seperti ini.

Satu menit berlalu. Saya mulai tak sabar. Penumpang mobil belum juga keluar. Dari pintu satunya keluarlah perempuan muda dengan pakaian suster. Saya semakin malas, oh, oke, pasti ini ibu-ibu muda yang tidak pengen anaknya merecoki jadwal salonnya sehingga perlu bawa suster. Lalu, suster itu bergerak ke bagasi mobil mengeluarkan tongkat kaki empat. Suster muda itu meletakkan tongkat di depan pintu yang telah terbuka. Ia menjulurkan badannya ke dalam, menarik seseorang keluar dari mobil.

Dan saat itulah saya melihat, rupa perempuan yang sedari tadi saya tebak-tebak. Seorang perempuan tua dengan kepala nyaris botak dan badan ringkih yang kurus. Untuk berjalan dengan tongkat berkaki empat pun, ia masih harus dipapah oleh satu orang lagi.

‘Mau ngapain nih nenek ke salon?’ Saya sempat berpikir demikian. Refleksi, mungkin, jawab otak saya segera. Setelah memarkir mobil, saya berjalan mendahului si nenek masuk ke salon.

Hari ini, tebakan saya melulu meleset. Nenek bertongkat kaki empat itu tidak refleksi. Ia duduk tak jauh dari saya. Tadi, ketika rambut saya dicuci, rambutnya pun dicuci. Ketika rambut saya dipotong, ia justru sedang memejamkan mata menikmati pijitan lembut di kepalanya yang sedang di-cream bath.

***

PERTANYAAN perempuan tua yang hendak merayakan ulang tahun perkawinannya menampar saya.

Jujur. Kadang saya masih suka mencebil sinis ketika melihat perempuan berumur tampil dengan dandanan lengkap. Sering tak habis mengerti mengapa mereka melakukan hal itu. Saya lupa. Harusnya, saya bertindak adil sejak dalam pikiran.

Iya. Apa yang salah dengan perempuan berumur yang pergi ke salon? Berdandan habis-habisan dengan make up lengkap dan baju berpotongan modern? Bukankah memang sifat dasar manusia selalu ingin tampil menarik? Dan, tak ada hukum yang melarang hal itu bukan?

Tampil menarik hak semua orang. Tak peduli tua-muda. Yang menganggap itu lucu, konyol, dan tidak pantas, justru kita yang masih muda. Menganggap semua keistimewaan itu hanya milik kaum muda saja. Dan ini pun didukung oleh industri kapitalis dunia fashion dan kecantikan. Industri kecantikan dan fashion hanya dibuat untuk mereka yang masih muda. Lihatlah iklan dan model yang dipakai. Bahkan, entah kenapa, saya merasa manekin yang ada di toko-toko pakaian pun adalah representasi dari kemudaan.

Kalau pun ada kosmetik bagi perempuan yang usianya semakin matang, pasti berkaitan dengan upaya pencegahan penuaan dini. Bagaimana menyamarkan kerut di mata dan leher. Bagaimana mengencangkan kulit paha dan perut agar selulit tak ada. Atau bagaimana agar bokong dan payudara tak kendur.

Tak banyak juga produk fashion dirancang untuk mereka yang sudah tua. Kalau kita berjalan-jalan ke mal, seluruh gerai toko memajang desain pakaian untuk mereka yang muda. Untuk yang tua, kita harus jeli menyibak satu per satu jejeran pakaian yang ada. Ujung-ujungnya, mereka memamerkan desain konservatif yang mengarah ke religiusitas : baju kurung dengan kerudung.

Saya bergidik. Menjadi tua itu menakutkan. Pilihan mendadak terasa homogen. Tak heran kalau ada yang bilang, dunia anak muda adalah dunia penuh warna. Pilihan hidup mereka variatif. Sementara, dunia orang tua, dunia yang kelabu. Yang tertinggal hanya hitam-putih. Seperti piramida, semakin tua seseorang, lingkungannya semakin menyempit, dan pilihannya pun semakin sedikit. Yang gawat, kita kadang menganggap ini waktu yang tepat buat tobat!

***

‘SAYA hanya ingin merawat diri saya. Walaupun dibilang sudah uzur oleh anakn saya, saya tetap ingin terlihat menarik,’ kata perempuan tua tadi.

Kali ini, ia berdiri dari kursinya. Sempurna. Rambutnya telah dicuci, dipotong, dan di-blow. Wajahnya sudah dirias. Ia mengenakan blus broken white polos dengan celana denim berwarna krem. Tangannya menenteng tas jinjing berwarna putih bersih dengan aksen emas. Samar, saya mencium bau parfum-nya ketika ia bergerak, melintasi punggung saya, lalu menghampiri Nenek Bertongkat Kaki Empat.

‘Tadi ke gereja pagi?’ tanyanya. Ah, rupanya mereka saling kenal. Nenek Bertongkat Kaki Empat mengangguk. Mereka kemudian bercakap dalam bahasa Belanda.

‘Iya, perempuan tua seperti kita ini serba salah. Mau menata rambut saja bingung. Rambutnya sudah habis. Kalau pergi ke salon, orang selalu bertanya, mau apa, buat apa.’ Perempuan tua itu kembali mengulangi pembicaraannya.

Nenek Bertongkat Empat membenarkan. ‘Padahal kita hanya ingin merawat diri. Menikmatinya.’

‘Kalau kita berantakan, tidak terawat, yang malu juga kan suami kita, anak kita,’ Perempuan tua melanjutkan. ‘Ya sudah, ik mau pulang. Keburu anak-anak saya datang menjemput.’ Ia menepuk pundak Nenek Bertongkat Kaki Empat dan melambaikan tangan kepada Tante Pemilik Salon.

‘Iya, Tante. Hati-hati. Selamat ulang tahun perkawinan!’ seru Tante Pemilik Salon. Perempuan tua itu tersenyum sumringah lalu melangkah pelan ke pintu keluar dengan muka berseri.

Entahlah, kali ini saya merasa,

ia perempuan paling cantik yang pernah saya lihat keluar dari salon hari ini.

Saya tahu, ini bukan karena perawatan yang baru saja ia lakukan. Namun karena rasa bahagia terpancar dari wajahnya. Ada harapan di situ. Ada yang ia tahu pasti menunggunya: anak-anak dan suami.

Kali ini, waktu tak lebih tamu yang mereka undang untuk merayakan dan menikmati kebersamaan yang tumbuh tua bersama mereka.

***

GROWING older is for sure.

Sesuatu yang pasti. But then, I think, I would like to put: ‘… and a very sexy thing’ to continue those words.

Mungkin, ketika beranjak tua, saya tetap akan menjalankan rutinitas saya : sebulan sekali cream bath, tiga bulan sekali potong rambut, well boleh lah ditambah dengan luluran. Lalu, ketika saya berdiri telanjang di depan cermin, saya akan menghitung kerut yang muncul di sekitar mata saya, gelambir di leher saya, dan selulit di paha saya.

Hm, mungkin juga,

saya masih akan mengenakan celana jeans Levi’s koleksi saya yang sudah buluk dan robek-robek. Termasuk koleksi kaus hitam-putih saya. Semoga saja, sampai saya tua, ukurannya masih cukup.

Kalau ada yang bertanya mengapa saya melakukan hal tersebut—mungkin anak saya, mungkin tetangga saya, mungkin partner hidup saya—saya sudah menyiapkan jawabannya dari sekarang.

Untuk diri saya sendiri.

Saya hanya ingin tumbuh tua bersama waktu, tanpa menyesali apa pun. Tanpa perlu melawannya.



Jakarta, 26 Oktober 2008

Friday, July 25, 2008

Surat Cinta

AKU pernah sekali menulis surat cinta.

Setidaknya, aku menganggap itu surat cinta. Jangan dibayangkan itu sebuah surat cinta yang penuh dengan pernyataan sayang dan ungkapan kasmaran.
Surat cintaku tidak kutulis di selembar kertas wangi dengan gambar hati yang merah membara. Tidak pula aku masukkan ke dalam sebuah amplop berwarna merah jambu yang distempel kecup bibir.

Surat cintaku biasa saja.

Ditulis dalam sebuah buku harian cokelat yang tak beraroma, kecuali bau kertas itu sendiri. Buku harian itu pun pemberian si Pujaan Hati. Lelaki yang berhasil merebut hatiku dan rasa ingin tahuku, saat itu, tentang apa yang ia pikirkan.

Surat cintaku menyimpan ceritanya. Cerita tentang lelaki yang aku sebut berwarna biru. Langitku. Cakrawalaku. Angkasaku. Dan aku adalah angin yang mencumbui setiap jengkal luasnya dalam pandang yang tak bisa dibatasi. Tidak oleh siapa pun.

Buku harian cokelat itu adalah lembaran surat cinta kami. Hari pertama aku mendapatkannya sebagai hadiah, tak lebih sebuah oleh-oleh dari perjalanan liburannya ke negara bagian lain. ‘Aku tak tahu harus memberi apa,’ katanya. Aku tertawa saat itu. Tak berharap mendapatkan apa pun.
Tapi, begitulah dia. Seperti langit yang bisa kaulihat, tapi tak kauketahui batasnya, ia selalu penuh kejutan. Dia mengulurkan sesuatu berbentuk segi panjang. Tak dibungkus kertas kado yang cantik. Hanya kertas putih tipis yang pastinya langsung dari toko ketika ia membeli.

‘Hey, you don’t have to….’

‘Say that till you open it,’ sahutnya.

Aku membuka kertas putih tipis dan menemukan buku harian itu. Aku tak ingat. Sepertinya bibirku melongo membentuk huruf o. Entah kenapa, itu seperti buku harian yang selama ini ada di bayanganku. Cokelat, kuno, dan seolah sanggup menjaga semua rahasia yang kausimpan bersama waktu meski ia tak berkunci.

Dia tersenyum. Senyum yang manis. ‘Hope you like it.’

‘I do like it.’

‘I have no flower. I mean, I don’t want to buy a flower.’

‘I do not like flower.’

‘I know, but some men do that.’

‘You do not.’

‘I want. But I know, you do not like it. I choose this…as a substitute for a flower….’
Dia mengulurkan sebuah boneka kecil. Anjing berkepala tiga yang ada dalam buku Harry Potter. Hewan yang jauh dari imut, bahkan di buku dan film terlihat sangat mengerikan. Teman perempuanku tertawa ketika tahu boneka apa yang ia berikan kepadaku. ‘Masa kasih cewek boneka beginian!’ komentar temanku.

Begitulah dia. Romantis dengan caranya. Kau tak akan percaya. Aku pernah menuliskan surat cinta untuknya, dan berjanji memenuhi halaman dari setiap lembar buku cokelat itu dengan surat cinta yang serupa cerita.

Aku pernah menghabiskan malam memikirkannya. Mengingat setiap detik yang kami lalui di antara hingar-bingar pertemanan. Apa yang ia ceritakan. Ekspresinya. Tawanya. Wajah bengalnya yang sok inosens ketika berhasil mencuri cium di tengah jalanan kota. Dan hal konyol yang ia lakukan. Kadang, dengan sudut mataku, aku mengamati cara dia melihatku di antara keramaian. Sejujurnya, aku jatuh cinta pada caranya menungguku di ujung bangku kayu di tepi sungai itu, pada kencan tak resmi kami yang pertama di penghujung musim semi. Aku jatuh hati pada caranya bertanya, bagaimana bahasa bisa tercipta. Aku jatuh pada rasa jengah ketika ia tersenyum kecil tanpa banyak bersuara. Dan itu yang aku tuliskan dalam surat cintaku yang pertama untuknya.

Surat cintaku adalah Satu Kisah tentang Dia. Langitku. Biruku. Angkasaku. Cakrawalaku.

Seseorang yang pernah membuat waktuku bergulir begitu lambat dan manis. Seorang yang padanya aku pernah berharap, ada warnaku di bianglala miliknya.

Kalau kau berpikir harus ada kata cinta dalam surat cinta, maka bacalah surat cintaku untuknya. Tak ada satu pun kata cinta di situ. Hanya ada rekaman hal yang kuingat tentang dia sepanjang hari. Hanya ada cerita tentang mimpinya dan mimpiku. Berbagi cerita. Berbagi rasa. berbagi rahasia. Berbagi tawa. Berbagi duka.

Begitulah surat cintaku. Aku hanya serupa pengamat yang menyukai objek yang dilihatnya dan mencoba mendeskripsikan. Bagiku, itu melampau rasa cinta itu sendiri. Tak ada yang mampu menjelaskan cinta, selain cinta itu sendiri. Dan pada akhirnya, semua kembali kepada merasakan. Bukan mengatakan.
*
AKU pun pernah menerima surat cinta darinya.

Setidaknya aku menganggapnya itu surat cinta. Jangan dibayangkan itu sebuah surat cinta yang terangkai penuh kata indah layaknya pujangga. Bukan. Dia tak pandai menulis. Beberapa pilihan katanya bahkan membuatku tertawa geli. Tapi, entah mengapa, aku tahu, ia menulis dengan jujur, dan berusaha keras agar bisa menulis dengan indah.

Surat cintanya tidak ditulis di selembar kertas wangi dengan gambar hati yang merah membara. Tidak pula dipenuhi kata yang romantis. Tapi, entah mengapa, surat cintanya terasa manis dan mampu membuat pipi menjadi semerah dadu.

Surat cintanya memang tidak biasa.

Ditulis dalam sebuah buku harian cokelat yang tak beraroma, kecuali bau kertas itu sendiri. Buku harian itu pun pembeliannya sendiri.

Surat cintanya menyimpan cerita tentangku. Ia mulai menuliskannya di halaman terakhir buku harian cokelat itu. Begitulah kami berkirim surat cinta; lewat sebuah buku harian cokelat. Aku memulainya dari depan, ia memulainya dari belakang. Kami akan bergantian membawa pulang buku cokelat itu hanya untuk menulis surat cinta yang serupa cerita.

Terus seperti itu. Selang dan berseling. Kau tak akan pernah tahu, bagaimana kami bermain tentang peran tukang pos mengantarkan surat cinta. Bagaimana kami berbagi rasa. Seperti apa kami membagi rahasia. Kami seumpama dua mata-mata cilik yang setiap hari saling melempar kode. Bertukar sandi. Lalu, buru-buru pulang ke persembunyian masing-masing untuk menemukan jawaban teka-teki. Tentunya dengan dada berdebar dan hati yang seumpama bunga mekar. Tentunya ini berbeda dengan cerita dektektif beneran. Yang membaca kode sandi dengan hati cemas dan pikiran yang dipenuhi rasa ingin tahu, kapan tibanya hari naas.

Aku dan dia berjanji, akan bertemu di halaman tengah untuk memadukan kata di halaman terakhir buku harian cokelat itu. Kami menganggap itu janji yang manis.

Sungguh.
**
APA yang kauharapkan dari sebuah kisah cinta yang pernah diwarnai surat cinta?

Aku pernah sekali menerima surat cinta dalam amplop biru yang wangi. Lidah amplopnya direkatkan dengan isolasi berwarna cantik : baby blue. Biru pucat, aku menyebutnya.

Surat cinta yang aku terima tidak ditulis di atas selembar surat bergambar hati dengan goresan ‘perhaps love’. Amplop itu hanya berisi dua kartu remi, masing-masing bergambar king dan gueen hati, sobekan separuh dari satu halaman paling belakang buku cokelat. Ia pernah merobeknya. Hari itu, ia memutuskan untuk mengembalikannya kepadaku, sehari sebelum semuanya harus selesai, dan mengantarkannya sendiri kepadaku.

Senyumnya tipis, dan tetap manis. ‘Sometimes, king and queen cannot “sit” together in the real world. But, still you have that place in my heart.’ Hari itu, aku menjadi ratu tanpa takhta dan mahkota di hatinya.


That was the last time; we kissed to each other.

Begitulah cerita cinta yang diwarnai surat cintaku berakhir. Tak pernah bertemu di akhir cerita.
Tak apa. Tidak setiap cerita dimaksudkan untuk bahagia bersama. Kita bisa berbahagia sendiri dan bertukar cerita agar yang lain merasakan bahwa hal biasa bisa menjelma luar biasa pada waktunya.

Aku merasa bahagia karena pernah sekali menulis surat cinta. [13]

Jakarta, 25 Juli 2008

Thursday, July 17, 2008

Merayakan Kematian

Seharusnya kita merayakan kematian.
Begitulah saya kerap berpikir. Betapa kematian harusnya dihadapi dengan sebuah perayaan yang hingar-bingar—tak berarti pesta yang meriah, orang bisa merasakan gempita dalam kesendiriannya, kok. Penuh senyum. Dan tentunya, dengan segenap rasa bahagia.

Bahagia saja.
Bukan ikhlas. Bukan sabar. Sebagai mana nasihat bijak yang diberikan orang kepada mereka yang ditinggal pergi.

Namun, kenyataannya, saya justru sering mendapati hal sebaliknya. Menyaksikan orang yang menghadapi kematian dengan air mata dan wajah muram. Ketika kabar itu disampaikan kepada mereka, bibirnya melongo terperangah sembari berkata, ‘Ya, ampun’, ‘Aduh, nggak nyangka ya?’, ‘Lho, kenapa?’, ‘Masak sih?’. Atau, lebih memprihatinkan lagi, menangis meraung-raung, jatuh pingsan, bahkan terpukul yang amat sangat hingga ia tak bisa move on.

Saya tahu, kehilangan itu hal yang tak menyenangkan. Bahkan, untuk sebagian orang terasa mengerikan ketika menyadari orang itu sudah tidak bersama kita lagi.

Saya maklum dengan semua itu. Namun, daripada menghadapi kematian atau kehilangan itu sendiri, saya justru lebih gentar menghadapi reaksi orang atas kematian dan kehilangan. Ada banyak alasan yang membuat saya ketakutan menghadapi reaksi orang-orang yang kehilangan atau ditinggalkan.

Saya mencintai kehilangan dan kematian seperti saya mengagumi kekuatan atas rasa memiliki dan kehidupan. Saya tak mungkin hanya mencintai salah satunya. Saya khawatir, ketika saya hanya menyukai hidup saja atau terlalu larut dalam kehilangan, maka saya akan menjelma menjadi sosok yang lebih egois dan tidak stabil.

Ketika menerima berita tentang kematian, sesungguhnya, jauh di lubuk hati, saya menyelamati mereka. Bersuka cita atas kemerdekaan mereka dari tubuh. Atas aturan bull shit di dunia ini. Saya selalu berpikir, tak ada hal yang perlu disedihkan atau disesali untuk sebuah kematian. Apalagi ditangisi. Namun, reaksi itu tentunya akan disikapi dengan tak wajar oleh orang sekeliling saya.

Dan, jadilah saya orang yang kikuk menghadapi kematian di dunia nyata.
Kikuk karena saya jadi bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana harus bereaksi menghadapi kematian agar di kacamata orang lain, saya dianggap cukup punya hati.

Saya tak tahu, bagaimana cara yang paling baik menghadapi orang-orang yang ditinggal pergi selain diam. Buat saya, mereka tak butuh dihibur. Mereka hanya butuh didengarkan. Butuh merasa sedih. Butuh merasa kehilangan untuk meyakinkan diri bahwa ada sebagian dari orang itu pernah memiliki ‘emotional attach’ dengannya. Mereka hanya butuh alasan agar tidak merasa menyesal menjalani sisa waktu tanpa orang itu.

Saya pernah berada di dalam situasi di mana saya seharusnya menangis, meraung, memaki, mempertanyakan kematian. Kalau saya melakukan hal seperti itu, saya akan dianggap manusiawi. Namun, yang terjadi, saya justru diam, tak bersuara, tak menangis, dan tak seperti orang kehilangan. Dan demikianlah tudingan itu dihunjamkan kepada saya, diucapkan oleh orang yang seharusnya sangat mengenal karakter saya. ‘Kamu memang tak pernah menyayangi dia. Tak merasa kehilangan.’

Detik itu saya tahu inilah hari kematian jiwa saya. Serasa ada bolong lebar di hati. Sebuah kehilangan yang besar: kepercayaan bahwa saya bisa merasakan. Meskipun beda cara.

Hari itu juga saya belajar.
Kematian membuat orang yang ditinggalkan kehilangan hati. Kematian membuat yang ditinggal menjadi labil. Oversensitive. Dilegalkan untuk bersikap, bertindak, dan berkata apa pun. Dan saya harus menyiapkan sejuta alasan untuk memaafkan sesakit apa pun tudingan itu. Harap maklum. Ia baru saja kehilangan.
That’s it. Don’t argue.

Begitulah.
Saya juga kelelahan menghadapi reaksi dan pertanyaan orang tentang kematian.
Reaksi mereka seperti adegan template di mata saya: pandangan iba, kasihan, dan prihatin. Saya membenci itu. Rasa itu lalu akan disuarakan melalui bisikan, ‘yang tabah ya…’, ‘ikhlas’, dan masih banyak bisikan kata lainnya yang serupa kendati dengan redaksional beda. Maaf, saya muak menghadapinya.

Lalu, setelah itu, akan ada pertanyaan copy-paste: ‘bagaimana kejadiannya?’ Dengan tangan mengelus pundak, tatapan mata menunjukkan kepedulian, si penanya akan menanti dengan sabar cerita dari mulut orang yang kehilangan. Dan begitulah, dengan suara terbata-bata, orang yang ditinggal akan kembali menceritakan semua kejadian. Ia mengingat, terkenang, dan perlahan air matanya kembali berlinang. Mereka kemudian berpelukan. Saling menguatkan.

Sigh…
Saya sungguh kecut menyaksikan hal itu.
Rikuh dengan reaksi seperti itu. Kenapa mereka tak diam saja. Usah bertanya, karena sesungguhnya, untuk menceritakan ulang, itu sangat melelahkan.

Saya pernah menjawab dengan tertawa ketika seseorang bertanya pada saya bagaimana kejadiannya sehingga seseorang itu mati. ‘Seharusnya, saya merekam semua cerita itu. Lalu, ketika ada yang bertanya, saya tinggal menyalakan tape.’ Itu jawaban saya. Dan yang bertanya menyambut jawaban saya dengan senyum dipaksakan.

‘Dia mungkin satu-satunya orang yang tak bersedih.’
‘Dia kan memang yang mulutnya paling judes.’
Demikian hal itu kembali saya dengar. Saya kenyang dengan komentar itu. Dan, saya memilih tetap tak bereaksi.

Sampai hari ini, saya enggan bertanya kenapa seseorang mati ketika berhadapan dengan keluarga yang ditinggalkan. Saya terbiasa menghadiri pemakaman atau ritual melayat dengan muka lempeng. Tak ingin bertanya ‘kenapa?’ atau ‘bagaimana?’. Kalau pulang dari ngelayat, orang seringkali bertanya pada saya sebab musabab kematian orang yang meninggal. Saya sadar kalau saya sering menjawab, ‘tidak tahu’.

Dan orang akan kembali berkata, ‘Ya, dia kan mana peduli dengan hal seperti itu’, ‘Ya, dia kan nggak sensitif’, atau ‘Buat dia itu kan nggak penting’. Saya harus kembali menelan semua itu. Bahkan, untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya tak bertanya tentang hal itu pun terasa melelahkan buat saya. Dan memang, tak ada pentingnya. Saya memilih diam dan mengabaikannya.

Padahal, alasan saya sepele saja. Saya tak bertanya karena persoalan kematian memang bukan untuk dipertanyakan. Itu pertama. Yang kedua, akan sangat membantu bagi mereka yang ditinggalkan kalau kita tidak terlalu banyak bertanya tentang penyebab kematian itu. Percayalah, menjawab pertanyaan itu dalam kondisi kehilangan bukan perkara mudah. Jadi, mari kita ringkankan dengan tak banyak bertanya. Begitu menurut hemat saya.

Buat saya, memasang telinga, mendengarkan tanpa banyak bertanya dan komentar adalah cara saya berempati pada sebuah rasa kehilangan yang semu. Ya, semua karena bagi saya orang-orang yang pergi itu tetap hidup. Hidup dalam kenangan. Apalagi yang lebih abadi selain orang yang akan terus bercokol dalam pikiran kita selama hidup?

Saya merayakan kematian. Menikmati kehilangan.
Karena kematian mempertemukan saya pada nilai hidup. Kehilangan memperkenalkan saya kepada rasa rindu. Sebuah rasa yang membuat saya bisa lebih menghargai kenangan tentang orang-orang yang pernah hidup atau saya (sempat) miliki.

Hari ini, saya tengah merayakan kematian seseorang dengan cara saya.
Duduk sendirian di pojok sebuah kafe, menulis tentang kematian sambil menyesap satu teko Rooibos Lemon Grass Tea. Saya biarkan diri saya larut dalam pekatnya kenangan tentang dia.

Sementara,
di bagian lain Jakarta,
mereka yang berbaju hitam tengah bersiap menuju pemakaman.

Jakarta, 24 Juni 2008.
In memoriam, my beloved uncle that I called ‘Babeh’.
‘Thanks for always being my friend, not-like-an-ordinary-old-man.’Seharusnya kita merayakan kematian.
Begitulah saya kerap berpikir. Betapa kematian harusnya dihadapi dengan sebuah perayaan yang hingar-bingar—tak berarti pesta yang meriah, orang bisa merasakan gempita dalam kesendiriannya, kok. Penuh senyum. Dan tentunya, dengan segenap rasa bahagia.

Bahagia saja.
Bukan ikhlas. Bukan sabar. Sebagai mana nasihat bijak yang diberikan orang kepada mereka yang ditinggal pergi.

Namun, kenyataannya, saya justru sering mendapati hal sebaliknya. Menyaksikan orang yang menghadapi kematian dengan air mata dan wajah muram. Ketika kabar itu disampaikan kepada mereka, bibirnya melongo terperangah sembari berkata, ‘Ya, ampun’, ‘Aduh, nggak nyangka ya?’, ‘Lho, kenapa?’, ‘Masak sih?’. Atau, lebih memprihatinkan lagi, menangis meraung-raung, jatuh pingsan, bahkan terpukul yang amat sangat hingga ia tak bisa move on.

Saya tahu, kehilangan itu hal yang tak menyenangkan. Bahkan, untuk sebagian orang terasa mengerikan ketika menyadari orang itu sudah tidak bersama kita lagi.

Saya maklum dengan semua itu. Namun, daripada menghadapi kematian atau kehilangan itu sendiri, saya justru lebih gentar menghadapi reaksi orang atas kematian dan kehilangan. Ada banyak alasan yang membuat saya ketakutan menghadapi reaksi orang-orang yang kehilangan atau ditinggalkan.

Saya mencintai kehilangan dan kematian seperti saya mengagumi kekuatan atas rasa memiliki dan kehidupan. Saya tak mungkin hanya mencintai salah satunya. Saya khawatir, ketika saya hanya menyukai hidup saja atau terlalu larut dalam kehilangan, maka saya akan menjelma menjadi sosok yang lebih egois dan tidak stabil.

Ketika menerima berita tentang kematian, sesungguhnya, jauh di lubuk hati, saya menyelamati mereka. Bersuka cita atas kemerdekaan mereka dari tubuh. Atas aturan bull shit di dunia ini. Saya selalu berpikir, tak ada hal yang perlu disedihkan atau disesali untuk sebuah kematian. Apalagi ditangisi. Namun, reaksi itu tentunya akan disikapi dengan tak wajar oleh orang sekeliling saya.

Dan, jadilah saya orang yang kikuk menghadapi kematian di dunia nyata.
Kikuk karena saya jadi bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana harus bereaksi menghadapi kematian agar di kacamata orang lain, saya dianggap cukup punya hati.

Saya tak tahu, bagaimana cara yang paling baik menghadapi orang-orang yang ditinggal pergi selain diam. Buat saya, mereka tak butuh dihibur. Mereka hanya butuh didengarkan. Butuh merasa sedih. Butuh merasa kehilangan untuk meyakinkan diri bahwa ada sebagian dari orang itu pernah memiliki ‘emotional attach’ dengannya. Mereka hanya butuh alasan agar tidak merasa menyesal menjalani sisa waktu tanpa orang itu.

Saya pernah berada di dalam situasi di mana saya seharusnya menangis, meraung, memaki, mempertanyakan kematian. Kalau saya melakukan hal seperti itu, saya akan dianggap manusiawi. Namun, yang terjadi, saya justru diam, tak bersuara, tak menangis, dan tak seperti orang kehilangan. Dan demikianlah tudingan itu dihunjamkan kepada saya, diucapkan oleh orang yang seharusnya sangat mengenal karakter saya. ‘Kamu memang tak pernah menyayangi dia. Tak merasa kehilangan.’

Detik itu saya tahu inilah hari kematian jiwa saya. Serasa ada bolong lebar di hati. Sebuah kehilangan yang besar: kepercayaan bahwa saya bisa merasakan. Meskipun beda cara.

Hari itu juga saya belajar.
Kematian membuat orang yang ditinggalkan kehilangan hati. Kematian membuat yang ditinggal menjadi labil. Oversensitive. Dilegalkan untuk bersikap, bertindak, dan berkata apa pun. Dan saya harus menyiapkan sejuta alasan untuk memaafkan sesakit apa pun tudingan itu. Harap maklum. Ia baru saja kehilangan.
That’s it. Don’t argue.

Begitulah.
Saya juga kelelahan menghadapi reaksi dan pertanyaan orang tentang kematian.
Reaksi mereka seperti adegan template di mata saya: pandangan iba, kasihan, dan prihatin. Saya membenci itu. Rasa itu lalu akan disuarakan melalui bisikan, ‘yang tabah ya…’, ‘ikhlas’, dan masih banyak bisikan kata lainnya yang serupa kendati dengan redaksional beda. Maaf, saya muak menghadapinya.

Lalu, setelah itu, akan ada pertanyaan copy-paste: ‘bagaimana kejadiannya?’ Dengan tangan mengelus pundak, tatapan mata menunjukkan kepedulian, si penanya akan menanti dengan sabar cerita dari mulut orang yang kehilangan. Dan begitulah, dengan suara terbata-bata, orang yang ditinggal akan kembali menceritakan semua kejadian. Ia mengingat, terkenang, dan perlahan air matanya kembali berlinang. Mereka kemudian berpelukan. Saling menguatkan.

Sigh…
Saya sungguh kecut menyaksikan hal itu.
Rikuh dengan reaksi seperti itu. Kenapa mereka tak diam saja. Usah bertanya, karena sesungguhnya, untuk menceritakan ulang, itu sangat melelahkan.

Saya pernah menjawab dengan tertawa ketika seseorang bertanya pada saya bagaimana kejadiannya sehingga seseorang itu mati. ‘Seharusnya, saya merekam semua cerita itu. Lalu, ketika ada yang bertanya, saya tinggal menyalakan tape.’ Itu jawaban saya. Dan yang bertanya menyambut jawaban saya dengan senyum dipaksakan.

‘Dia mungkin satu-satunya orang yang tak bersedih.’
‘Dia kan memang yang mulutnya paling judes.’
Demikian hal itu kembali saya dengar. Saya kenyang dengan komentar itu. Dan, saya memilih tetap tak bereaksi.

Sampai hari ini, saya enggan bertanya kenapa seseorang mati ketika berhadapan dengan keluarga yang ditinggalkan. Saya terbiasa menghadiri pemakaman atau ritual melayat dengan muka lempeng. Tak ingin bertanya ‘kenapa?’ atau ‘bagaimana?’. Kalau pulang dari ngelayat, orang seringkali bertanya pada saya sebab musabab kematian orang yang meninggal. Saya sadar kalau saya sering menjawab, ‘tidak tahu’.

Dan orang akan kembali berkata, ‘Ya, dia kan mana peduli dengan hal seperti itu’, ‘Ya, dia kan nggak sensitif’, atau ‘Buat dia itu kan nggak penting’. Saya harus kembali menelan semua itu. Bahkan, untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya tak bertanya tentang hal itu pun terasa melelahkan buat saya. Dan memang, tak ada pentingnya. Saya memilih diam dan mengabaikannya.

Padahal, alasan saya sepele saja. Saya tak bertanya karena persoalan kematian memang bukan untuk dipertanyakan. Itu pertama. Yang kedua, akan sangat membantu bagi mereka yang ditinggalkan kalau kita tidak terlalu banyak bertanya tentang penyebab kematian itu. Percayalah, menjawab pertanyaan itu dalam kondisi kehilangan bukan perkara mudah. Jadi, mari kita ringkankan dengan tak banyak bertanya. Begitu menurut hemat saya.

Buat saya, memasang telinga, mendengarkan tanpa banyak bertanya dan komentar adalah cara saya berempati pada sebuah rasa kehilangan yang semu. Ya, semua karena bagi saya orang-orang yang pergi itu tetap hidup. Hidup dalam kenangan. Apalagi yang lebih abadi selain orang yang akan terus bercokol dalam pikiran kita selama hidup?

Saya merayakan kematian. Menikmati kehilangan.
Karena kematian mempertemukan saya pada nilai hidup. Kehilangan memperkenalkan saya kepada rasa rindu. Sebuah rasa yang membuat saya bisa lebih menghargai kenangan tentang orang-orang yang pernah hidup atau saya (sempat) miliki.

Hari ini, saya tengah merayakan kematian seseorang dengan cara saya.
Duduk sendirian di pojok sebuah kafe, menulis tentang kematian sambil menyesap satu teko Rooibos Lemon Grass Tea. Saya biarkan diri saya larut dalam pekatnya kenangan tentang dia.

Sementara,
di bagian lain Jakarta,
mereka yang berbaju hitam tengah bersiap menuju pemakaman.

Jakarta, 24 Juni 2008.
In memoriam, my beloved uncle that I called ‘Babeh’.
‘Thanks for always being my friend, not-like-an-ordinary-old-man.’

Merah itu (bukan) Cinta

Aku benci menstruasi karena membuat aku teringat kalau aku perempuan.
Jangan salah, aku tak pernah membenci kelaminku yang perempuan. Tidak. Namun, kalau boleh memilih, aku ingin lahir sebagai manusia saja. Tanpa kelamin. Androgini. Aseksual.

Jangan tanya kenapa. Aku sedang tak ingin membahasnya. Selalu ada malam panjang untuk perdebatan yang muncul akibat pernyataan itu.

Sebentar saja, jangan masukkan kodrat dalam percakapan kita. Aku sedang tak bicara tentang kodrat. Cukup, sediakan waktu dan kuping saja untukku. Begitu selesai, buang cerita ini dari memori otakmu. Bukan sesuatu yang harus diingat. Ini hanya gerundelan di masa datang bulan. Cerita sampah yang tak usah diteruskan.

Saat ini, aku sedang ingin berbicara tentang darah. Darah yang mengalir dari vaginaku setiap bulan. Itu kalau lagi teratur. Setahun sekali, kalau ia lagi kumat tak ingin teratur. Tapi, aku nyaris tak pernah peduli kapan ia akan datang. Teratur atau tidak. Masa bodoh. Lebih bagus kalau ia tak datang. Tak perlu merasa sakit hingga berguling-guling.

Aku membenci menstruasi.
Membenci rasa sakit pada perut. Rasa perih di bibir vagina. Dan rasa miris melihat merahnya yang mengalir di antara selangkangan. Darahnya mengingatkan aku pada merah yang perih. Merah yang menyayat. Merah yang (bukan) cinta. Merah yang penuh luka.

Penuh luka. Penuh dendam. Luka dan dendam milik perempuan. Perempuan itu menangis di sudut kamarku. Meratapi perih di kelamin dan perutnya. Dia tidak sedang datang bulan. Namun ia meringis memegang perut. Perempuan itu baru saja menggugurkan kandungannya. Ia pendarahan. Ia memerah.

Aku meringis. Lantai kamarku yang putih kini dinodai merah. Dari sela kakinya, darah merembes. Mengalir turun ke paha, betis, mata kaki hingga memerciki lantai kamar. Aku bergidik. Menahan napas. Menahan sakit yang juga mendera perutku.

Ia menangis. Aku meringis. Digigitnya bibir bawah hingga berdarah. Luka. Luka yang tak sebanding dengan perih di hatinya. Aku beringsut. Mengambil tissue di meja kamar. Mengelap lantai di bawah kakinya. Aku pun perih. Seperti pembalut, tissue itu menyerap merah.

Perempuan itu tergugu. Aku terpaku. Bicara sepertinya tak akan cukup membuat perasaannya membaik. Bisu adalah pilihanku. Dan kami membatu sambil menatap merah. Merah itu darah.

Ke mana lelaki itu? Ke mana cinta itu? Merah sepertinya (bukan) cinta.
Aku mendendam. Mendendam kepada merah.

Aku membenci menstruasi.
Ia mengingatkanku pada merah. Merah yang sakit.

Rasa sakit di perut rahim terus berteriak. Menendang-nendang selaput rahim agar darahnya menggelontor. Aku meringis, menahan perih. Sakit. Lalu, rasa hangat tiba-tiba terasa di selangkangan. Sesuatu mengalir. Darah kotor itu ke luar, tertampung di roti jepang yang menempel pada celana dalam. Aku memejamkan mata. Menahan sensasi yang turun dari perut menuju titik di bawah sana. Dan setelah itu, apakah aku dianggap bersih?

Aku benci menstruasi.
Darahnya mengingatkanku kepada kelaminku. Kenapa darah begitu dekat dengan perempuan?

Aku benci menstruasi.
Sebab ia melarang perempuan bercinta.