Thursday, July 17, 2008

Kekasih Hujan

Perempuan itu masih menunggu.
Di sana.
Di pinggir jendela dengan kacanya yang megah dan polos.
Duduk seorang diri menatap ke luar.
Menanti entah apa. Melihat entah ke mana.

Ia bergeming.
Siang ini memang dingin. Hangat matahari sedari pagi enggan menyapa Jakarta di bulan Januari. Ia rapikan syal merah yang membalut lehernya. Begitu kontras dengan pakaian hitam yang dikenakannya. Mukanya polos tak berpoles. Ia sendiri. Tapi aku tak yakin apakah ia kesepian. Sebab, ada senyum tipis di ujung bibirnya yang merah jambu. Mungkin, ia terkenang pada sesuatu.

Kenangan yang membuat pipinya menjadi semerah dadu.

Perlahan, disesapnya cangkir teh yang ada di hadapannya. Sesekali bibirnya meniup-niup minuman yang mengepulkan asap.

Pernah, ia menoleh. Membuang pandangannya dari jendela. Aku mengartikannya itu seperti upaya ia untuk keluar dari dunia miliknya sendiri sejenak. Dan sejenak itu yang aku simpan di dalam memori otakku. Mata cokelatnya yang pias bertemu mataku. Aku membeku.

Matanya bicara banyak. Namun, ia enggan membaginya dengan orang lain, termasuk aku. Dibatasinya aku dengan sebaris senyum. Tipis. Setipis tadi. Sayang, tak semanis tadi.

Mungkin ini bisa disebut astral. Aku seolah dilempar ke tepi pintu dunianya. Meraba-raba, apa yang tengah ia pikirkan. Menebak adakah yang ia tunggu.
Seorang lelaki?
Sahabat?
Rekanan bisnis, mungkin.
Atau, sekadar menghabiskan waktu untuk bertemu kenangannya.
Namun, daun pintunya tak terkuak. Aku tetap sibuk menebak-nebak.
***
Suara petir menggelegar. Langit kelabu di luar sana memuntahkan hujan. Ia kembali memandang ke jendela. Meninggalkan aku yang kehausan akan dirinya. Tak beringsut dari tepi jendela. Omongan orang tua, ‘Jangan berdiri di dekat jendela kalau hujan, nanti disambar geledek’ tak diacuhkannya. Bahkan, ujung jarinya kini menempel di kaca. Ikut menyusuri bulir air yang jatuh. Lambat bergerak. Seperti bom waktu yang menunggu meledak. Sebelum menghentak ke tanah dan melesak dengan membawa seribu kisah.

Aku tercenung.
Perempuan itu seolah tengah bercakap dengan hujan.
Berbagi cerita yang membuat bibirnya terus menyinggungkan senyuman tipis nan manis.
Aku mati penasaran. Aku cemburu pada hujan. Mereka tampak begitu mesra. Tak berjarak. Tak ada tempat untukku. Padahal, aku begitu memujanya. Mencintai setiap jengkal dirinya, sekecil apa pun.

Apa yang ia bisikan kepada hujan?
Sepertinya, ia berkisah tentang banyak hal. Terlihat begitu akrab. Sementara aku, tetap di sini. Mendambanya tak tentu arah. Aku seperti pesakitan. Mengamati setiap geraknya. Di setiap hari ketika hujan turun. Duduk di bangku yang sama. Memandang hal yang sama. Namun, tak juga bisa menebak apa. Bahkan, tak juga sepenggal kata, ‘hallo’ untuk menyapa.

Mungkin, besok, bisa aku mulai dengan ‘selamat pagi’. Atau, ‘hai ketemu lagi’. Setiap hari, menjelang pulang selalu kuniatkan itu. Tapi, sampai hari ini, tak sepatah kata pun keluar dari bibirku, ketika esoknya aku melihatnya lagi. Aku memilih menatapnya saja. Mengajaknya bicara dalam diam.

Ia pemandangan yang indah buatku hari ini.
Sama seperti kemarin.
Kemarin.
Dan kemarinnya lagi.
Ketika hujan turun: Ia selalu ada di situ.
Dan aku selalu di sini. Menjadi pemuja gelap Sang Kekasih Hujan.

1 comment:

Yuda Pernanda said...

waw...

good story for all.