Thursday, July 17, 2008

Merayakan Kematian

Seharusnya kita merayakan kematian.
Begitulah saya kerap berpikir. Betapa kematian harusnya dihadapi dengan sebuah perayaan yang hingar-bingar—tak berarti pesta yang meriah, orang bisa merasakan gempita dalam kesendiriannya, kok. Penuh senyum. Dan tentunya, dengan segenap rasa bahagia.

Bahagia saja.
Bukan ikhlas. Bukan sabar. Sebagai mana nasihat bijak yang diberikan orang kepada mereka yang ditinggal pergi.

Namun, kenyataannya, saya justru sering mendapati hal sebaliknya. Menyaksikan orang yang menghadapi kematian dengan air mata dan wajah muram. Ketika kabar itu disampaikan kepada mereka, bibirnya melongo terperangah sembari berkata, ‘Ya, ampun’, ‘Aduh, nggak nyangka ya?’, ‘Lho, kenapa?’, ‘Masak sih?’. Atau, lebih memprihatinkan lagi, menangis meraung-raung, jatuh pingsan, bahkan terpukul yang amat sangat hingga ia tak bisa move on.

Saya tahu, kehilangan itu hal yang tak menyenangkan. Bahkan, untuk sebagian orang terasa mengerikan ketika menyadari orang itu sudah tidak bersama kita lagi.

Saya maklum dengan semua itu. Namun, daripada menghadapi kematian atau kehilangan itu sendiri, saya justru lebih gentar menghadapi reaksi orang atas kematian dan kehilangan. Ada banyak alasan yang membuat saya ketakutan menghadapi reaksi orang-orang yang kehilangan atau ditinggalkan.

Saya mencintai kehilangan dan kematian seperti saya mengagumi kekuatan atas rasa memiliki dan kehidupan. Saya tak mungkin hanya mencintai salah satunya. Saya khawatir, ketika saya hanya menyukai hidup saja atau terlalu larut dalam kehilangan, maka saya akan menjelma menjadi sosok yang lebih egois dan tidak stabil.

Ketika menerima berita tentang kematian, sesungguhnya, jauh di lubuk hati, saya menyelamati mereka. Bersuka cita atas kemerdekaan mereka dari tubuh. Atas aturan bull shit di dunia ini. Saya selalu berpikir, tak ada hal yang perlu disedihkan atau disesali untuk sebuah kematian. Apalagi ditangisi. Namun, reaksi itu tentunya akan disikapi dengan tak wajar oleh orang sekeliling saya.

Dan, jadilah saya orang yang kikuk menghadapi kematian di dunia nyata.
Kikuk karena saya jadi bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana harus bereaksi menghadapi kematian agar di kacamata orang lain, saya dianggap cukup punya hati.

Saya tak tahu, bagaimana cara yang paling baik menghadapi orang-orang yang ditinggal pergi selain diam. Buat saya, mereka tak butuh dihibur. Mereka hanya butuh didengarkan. Butuh merasa sedih. Butuh merasa kehilangan untuk meyakinkan diri bahwa ada sebagian dari orang itu pernah memiliki ‘emotional attach’ dengannya. Mereka hanya butuh alasan agar tidak merasa menyesal menjalani sisa waktu tanpa orang itu.

Saya pernah berada di dalam situasi di mana saya seharusnya menangis, meraung, memaki, mempertanyakan kematian. Kalau saya melakukan hal seperti itu, saya akan dianggap manusiawi. Namun, yang terjadi, saya justru diam, tak bersuara, tak menangis, dan tak seperti orang kehilangan. Dan demikianlah tudingan itu dihunjamkan kepada saya, diucapkan oleh orang yang seharusnya sangat mengenal karakter saya. ‘Kamu memang tak pernah menyayangi dia. Tak merasa kehilangan.’

Detik itu saya tahu inilah hari kematian jiwa saya. Serasa ada bolong lebar di hati. Sebuah kehilangan yang besar: kepercayaan bahwa saya bisa merasakan. Meskipun beda cara.

Hari itu juga saya belajar.
Kematian membuat orang yang ditinggalkan kehilangan hati. Kematian membuat yang ditinggal menjadi labil. Oversensitive. Dilegalkan untuk bersikap, bertindak, dan berkata apa pun. Dan saya harus menyiapkan sejuta alasan untuk memaafkan sesakit apa pun tudingan itu. Harap maklum. Ia baru saja kehilangan.
That’s it. Don’t argue.

Begitulah.
Saya juga kelelahan menghadapi reaksi dan pertanyaan orang tentang kematian.
Reaksi mereka seperti adegan template di mata saya: pandangan iba, kasihan, dan prihatin. Saya membenci itu. Rasa itu lalu akan disuarakan melalui bisikan, ‘yang tabah ya…’, ‘ikhlas’, dan masih banyak bisikan kata lainnya yang serupa kendati dengan redaksional beda. Maaf, saya muak menghadapinya.

Lalu, setelah itu, akan ada pertanyaan copy-paste: ‘bagaimana kejadiannya?’ Dengan tangan mengelus pundak, tatapan mata menunjukkan kepedulian, si penanya akan menanti dengan sabar cerita dari mulut orang yang kehilangan. Dan begitulah, dengan suara terbata-bata, orang yang ditinggal akan kembali menceritakan semua kejadian. Ia mengingat, terkenang, dan perlahan air matanya kembali berlinang. Mereka kemudian berpelukan. Saling menguatkan.

Sigh…
Saya sungguh kecut menyaksikan hal itu.
Rikuh dengan reaksi seperti itu. Kenapa mereka tak diam saja. Usah bertanya, karena sesungguhnya, untuk menceritakan ulang, itu sangat melelahkan.

Saya pernah menjawab dengan tertawa ketika seseorang bertanya pada saya bagaimana kejadiannya sehingga seseorang itu mati. ‘Seharusnya, saya merekam semua cerita itu. Lalu, ketika ada yang bertanya, saya tinggal menyalakan tape.’ Itu jawaban saya. Dan yang bertanya menyambut jawaban saya dengan senyum dipaksakan.

‘Dia mungkin satu-satunya orang yang tak bersedih.’
‘Dia kan memang yang mulutnya paling judes.’
Demikian hal itu kembali saya dengar. Saya kenyang dengan komentar itu. Dan, saya memilih tetap tak bereaksi.

Sampai hari ini, saya enggan bertanya kenapa seseorang mati ketika berhadapan dengan keluarga yang ditinggalkan. Saya terbiasa menghadiri pemakaman atau ritual melayat dengan muka lempeng. Tak ingin bertanya ‘kenapa?’ atau ‘bagaimana?’. Kalau pulang dari ngelayat, orang seringkali bertanya pada saya sebab musabab kematian orang yang meninggal. Saya sadar kalau saya sering menjawab, ‘tidak tahu’.

Dan orang akan kembali berkata, ‘Ya, dia kan mana peduli dengan hal seperti itu’, ‘Ya, dia kan nggak sensitif’, atau ‘Buat dia itu kan nggak penting’. Saya harus kembali menelan semua itu. Bahkan, untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya tak bertanya tentang hal itu pun terasa melelahkan buat saya. Dan memang, tak ada pentingnya. Saya memilih diam dan mengabaikannya.

Padahal, alasan saya sepele saja. Saya tak bertanya karena persoalan kematian memang bukan untuk dipertanyakan. Itu pertama. Yang kedua, akan sangat membantu bagi mereka yang ditinggalkan kalau kita tidak terlalu banyak bertanya tentang penyebab kematian itu. Percayalah, menjawab pertanyaan itu dalam kondisi kehilangan bukan perkara mudah. Jadi, mari kita ringkankan dengan tak banyak bertanya. Begitu menurut hemat saya.

Buat saya, memasang telinga, mendengarkan tanpa banyak bertanya dan komentar adalah cara saya berempati pada sebuah rasa kehilangan yang semu. Ya, semua karena bagi saya orang-orang yang pergi itu tetap hidup. Hidup dalam kenangan. Apalagi yang lebih abadi selain orang yang akan terus bercokol dalam pikiran kita selama hidup?

Saya merayakan kematian. Menikmati kehilangan.
Karena kematian mempertemukan saya pada nilai hidup. Kehilangan memperkenalkan saya kepada rasa rindu. Sebuah rasa yang membuat saya bisa lebih menghargai kenangan tentang orang-orang yang pernah hidup atau saya (sempat) miliki.

Hari ini, saya tengah merayakan kematian seseorang dengan cara saya.
Duduk sendirian di pojok sebuah kafe, menulis tentang kematian sambil menyesap satu teko Rooibos Lemon Grass Tea. Saya biarkan diri saya larut dalam pekatnya kenangan tentang dia.

Sementara,
di bagian lain Jakarta,
mereka yang berbaju hitam tengah bersiap menuju pemakaman.

Jakarta, 24 Juni 2008.
In memoriam, my beloved uncle that I called ‘Babeh’.
‘Thanks for always being my friend, not-like-an-ordinary-old-man.’Seharusnya kita merayakan kematian.
Begitulah saya kerap berpikir. Betapa kematian harusnya dihadapi dengan sebuah perayaan yang hingar-bingar—tak berarti pesta yang meriah, orang bisa merasakan gempita dalam kesendiriannya, kok. Penuh senyum. Dan tentunya, dengan segenap rasa bahagia.

Bahagia saja.
Bukan ikhlas. Bukan sabar. Sebagai mana nasihat bijak yang diberikan orang kepada mereka yang ditinggal pergi.

Namun, kenyataannya, saya justru sering mendapati hal sebaliknya. Menyaksikan orang yang menghadapi kematian dengan air mata dan wajah muram. Ketika kabar itu disampaikan kepada mereka, bibirnya melongo terperangah sembari berkata, ‘Ya, ampun’, ‘Aduh, nggak nyangka ya?’, ‘Lho, kenapa?’, ‘Masak sih?’. Atau, lebih memprihatinkan lagi, menangis meraung-raung, jatuh pingsan, bahkan terpukul yang amat sangat hingga ia tak bisa move on.

Saya tahu, kehilangan itu hal yang tak menyenangkan. Bahkan, untuk sebagian orang terasa mengerikan ketika menyadari orang itu sudah tidak bersama kita lagi.

Saya maklum dengan semua itu. Namun, daripada menghadapi kematian atau kehilangan itu sendiri, saya justru lebih gentar menghadapi reaksi orang atas kematian dan kehilangan. Ada banyak alasan yang membuat saya ketakutan menghadapi reaksi orang-orang yang kehilangan atau ditinggalkan.

Saya mencintai kehilangan dan kematian seperti saya mengagumi kekuatan atas rasa memiliki dan kehidupan. Saya tak mungkin hanya mencintai salah satunya. Saya khawatir, ketika saya hanya menyukai hidup saja atau terlalu larut dalam kehilangan, maka saya akan menjelma menjadi sosok yang lebih egois dan tidak stabil.

Ketika menerima berita tentang kematian, sesungguhnya, jauh di lubuk hati, saya menyelamati mereka. Bersuka cita atas kemerdekaan mereka dari tubuh. Atas aturan bull shit di dunia ini. Saya selalu berpikir, tak ada hal yang perlu disedihkan atau disesali untuk sebuah kematian. Apalagi ditangisi. Namun, reaksi itu tentunya akan disikapi dengan tak wajar oleh orang sekeliling saya.

Dan, jadilah saya orang yang kikuk menghadapi kematian di dunia nyata.
Kikuk karena saya jadi bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana harus bereaksi menghadapi kematian agar di kacamata orang lain, saya dianggap cukup punya hati.

Saya tak tahu, bagaimana cara yang paling baik menghadapi orang-orang yang ditinggal pergi selain diam. Buat saya, mereka tak butuh dihibur. Mereka hanya butuh didengarkan. Butuh merasa sedih. Butuh merasa kehilangan untuk meyakinkan diri bahwa ada sebagian dari orang itu pernah memiliki ‘emotional attach’ dengannya. Mereka hanya butuh alasan agar tidak merasa menyesal menjalani sisa waktu tanpa orang itu.

Saya pernah berada di dalam situasi di mana saya seharusnya menangis, meraung, memaki, mempertanyakan kematian. Kalau saya melakukan hal seperti itu, saya akan dianggap manusiawi. Namun, yang terjadi, saya justru diam, tak bersuara, tak menangis, dan tak seperti orang kehilangan. Dan demikianlah tudingan itu dihunjamkan kepada saya, diucapkan oleh orang yang seharusnya sangat mengenal karakter saya. ‘Kamu memang tak pernah menyayangi dia. Tak merasa kehilangan.’

Detik itu saya tahu inilah hari kematian jiwa saya. Serasa ada bolong lebar di hati. Sebuah kehilangan yang besar: kepercayaan bahwa saya bisa merasakan. Meskipun beda cara.

Hari itu juga saya belajar.
Kematian membuat orang yang ditinggalkan kehilangan hati. Kematian membuat yang ditinggal menjadi labil. Oversensitive. Dilegalkan untuk bersikap, bertindak, dan berkata apa pun. Dan saya harus menyiapkan sejuta alasan untuk memaafkan sesakit apa pun tudingan itu. Harap maklum. Ia baru saja kehilangan.
That’s it. Don’t argue.

Begitulah.
Saya juga kelelahan menghadapi reaksi dan pertanyaan orang tentang kematian.
Reaksi mereka seperti adegan template di mata saya: pandangan iba, kasihan, dan prihatin. Saya membenci itu. Rasa itu lalu akan disuarakan melalui bisikan, ‘yang tabah ya…’, ‘ikhlas’, dan masih banyak bisikan kata lainnya yang serupa kendati dengan redaksional beda. Maaf, saya muak menghadapinya.

Lalu, setelah itu, akan ada pertanyaan copy-paste: ‘bagaimana kejadiannya?’ Dengan tangan mengelus pundak, tatapan mata menunjukkan kepedulian, si penanya akan menanti dengan sabar cerita dari mulut orang yang kehilangan. Dan begitulah, dengan suara terbata-bata, orang yang ditinggal akan kembali menceritakan semua kejadian. Ia mengingat, terkenang, dan perlahan air matanya kembali berlinang. Mereka kemudian berpelukan. Saling menguatkan.

Sigh…
Saya sungguh kecut menyaksikan hal itu.
Rikuh dengan reaksi seperti itu. Kenapa mereka tak diam saja. Usah bertanya, karena sesungguhnya, untuk menceritakan ulang, itu sangat melelahkan.

Saya pernah menjawab dengan tertawa ketika seseorang bertanya pada saya bagaimana kejadiannya sehingga seseorang itu mati. ‘Seharusnya, saya merekam semua cerita itu. Lalu, ketika ada yang bertanya, saya tinggal menyalakan tape.’ Itu jawaban saya. Dan yang bertanya menyambut jawaban saya dengan senyum dipaksakan.

‘Dia mungkin satu-satunya orang yang tak bersedih.’
‘Dia kan memang yang mulutnya paling judes.’
Demikian hal itu kembali saya dengar. Saya kenyang dengan komentar itu. Dan, saya memilih tetap tak bereaksi.

Sampai hari ini, saya enggan bertanya kenapa seseorang mati ketika berhadapan dengan keluarga yang ditinggalkan. Saya terbiasa menghadiri pemakaman atau ritual melayat dengan muka lempeng. Tak ingin bertanya ‘kenapa?’ atau ‘bagaimana?’. Kalau pulang dari ngelayat, orang seringkali bertanya pada saya sebab musabab kematian orang yang meninggal. Saya sadar kalau saya sering menjawab, ‘tidak tahu’.

Dan orang akan kembali berkata, ‘Ya, dia kan mana peduli dengan hal seperti itu’, ‘Ya, dia kan nggak sensitif’, atau ‘Buat dia itu kan nggak penting’. Saya harus kembali menelan semua itu. Bahkan, untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya tak bertanya tentang hal itu pun terasa melelahkan buat saya. Dan memang, tak ada pentingnya. Saya memilih diam dan mengabaikannya.

Padahal, alasan saya sepele saja. Saya tak bertanya karena persoalan kematian memang bukan untuk dipertanyakan. Itu pertama. Yang kedua, akan sangat membantu bagi mereka yang ditinggalkan kalau kita tidak terlalu banyak bertanya tentang penyebab kematian itu. Percayalah, menjawab pertanyaan itu dalam kondisi kehilangan bukan perkara mudah. Jadi, mari kita ringkankan dengan tak banyak bertanya. Begitu menurut hemat saya.

Buat saya, memasang telinga, mendengarkan tanpa banyak bertanya dan komentar adalah cara saya berempati pada sebuah rasa kehilangan yang semu. Ya, semua karena bagi saya orang-orang yang pergi itu tetap hidup. Hidup dalam kenangan. Apalagi yang lebih abadi selain orang yang akan terus bercokol dalam pikiran kita selama hidup?

Saya merayakan kematian. Menikmati kehilangan.
Karena kematian mempertemukan saya pada nilai hidup. Kehilangan memperkenalkan saya kepada rasa rindu. Sebuah rasa yang membuat saya bisa lebih menghargai kenangan tentang orang-orang yang pernah hidup atau saya (sempat) miliki.

Hari ini, saya tengah merayakan kematian seseorang dengan cara saya.
Duduk sendirian di pojok sebuah kafe, menulis tentang kematian sambil menyesap satu teko Rooibos Lemon Grass Tea. Saya biarkan diri saya larut dalam pekatnya kenangan tentang dia.

Sementara,
di bagian lain Jakarta,
mereka yang berbaju hitam tengah bersiap menuju pemakaman.

Jakarta, 24 Juni 2008.
In memoriam, my beloved uncle that I called ‘Babeh’.
‘Thanks for always being my friend, not-like-an-ordinary-old-man.’

5 comments:

Kabasaran Soultan said...

tak ada yang perlu ditakutkan dengan kematian karena ia merupakan permulaan atau awal dari sesuatu yang baru.
Selayaknya suatu kematian itu memang harus dirayakan bukan diratapi.
Inilah gambaran indahnya suatu kematian.

DAUR ULANG

Tanah terhampar
Hujan menyiram
Batang menjulang
Dedaun merimbun
Mentari merekah
Angin mengelus
Dedaun gugur
Tanah memeluk

Dedaun mengurai
Tanah menggembur
Rerumput menari
Menghampar bumi
Cacing berbiak
Mata pancing menikam
Kail dilepas
Ikan menggelepar

Api menyala
Minyak mendesir
Ikan digoreng
Aroma mengalir
Selera terundang
Ikan dimakan
Perut kenyang
Kantuk datang.

Subuh terbangun
Dingin menusuk
Perut meradang
Minta kebelakang
Lari kekolam
Duduk semedi
Menguras perut
Yang penuh isi.

Perut terkuras
Lega di hati
Air menyibak
Ikan berdesak
Berenang garang
Berebut makan
Saudara sendiri.

Lonceng berbunyi
Hati mengeri
Berjalan diri
Ke rumah si mati
Tangis memecah
Tandu diusung
Mayat ditanam
Cacing menanti

Mayat terurai
Tanah memeluk
Lalu …..
Ada diri jadi pohon
Ada diri jadi rerumput
Ada diri jadi cacing
Ada diri jadi ...

n_new_here said...

waaaaah,, postingannya keren banget mba,,
itu bener mba ga seharusnya kita sedih karena kematian,, dan kematian bukan lah akhir, melainkan awal dari kehidupan yang lebih nyata,,
dan bila kita memang harus menangis seharusnya kita menangis bukan karena dipisahkan oleh kematian tapi karena kehilangan sementara kita,,
itu sih menurut N lho ya,,

N baru nih mampir kesini,,
posting lagi dong mba,,

o iya bwt 'sabaran soultan'
puisinya bagus,,

windy said...

@kabasaran soultan: thank you for dropping your poem.
@ n_new_here : yup. agreed. ;)

ginatolioe said...

Kematian diidentikan dengan berpisahnya roh dan raga. Namun, buat saya kematian sesungguhnya adalah hidup tanpa harapan, seolah patah arang.

Halo kak Windy, it's me Donita. Sudah lama tak bersua!

ginatolioe said...

Kematian dimengerti sebagai terpisahnya roh dan raga. Namun buat saya, kematian sesungguhnya adalah hidup tanpa harapan, seolah patah arang.

Halo kak Windy, its me Donita. Sudah lama tak bersua! he he he